View project
Read more
Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sering dilontarkan di bulan Ramadhan. Karena pada asalnya wanita Muslimah lebih utama shalat di rumah. Namun di sisi lain, ada faktor-faktor lain yang disebutkan para ulama sehingga membuat ia lebih utama dilaksanakan di masjid.
Keutamaan shalat tarawih
Shalat tarawih hukumnya sunnah muakkad. Ia adalah ibadah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadhan dan sangat besar pahalanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Dari Abu Dzar radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk” (HR. At Tirmidzi no. 806, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dari hadits Abu Dzar ini juga kita pahami bahwa shalat tarawih dianjurkan dilakukan berjamaah bersama imam di masjid.
Wanita lebih utama shalat di rumah
Secara umum, shalat bagi wanita lebih utama dilakukan di rumah. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صَلاةُ الْمَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا وَصَلاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاتِهَا فِي بَيْتِ
“Shalatnya seorang wanita di kamarnya lebih utama daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Dan shalatnya seorang wanita di ruangan kecil di dalam kamarnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya” (HR. Abu Daud no. 570, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Kemudian dalam hadits Ummu Humaid radhiallahu’anha, beliau berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّ الصَّلاةَ مَعَكَ قَالَ قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاةَ مَعِي وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي قَالَ فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
“Wahai Rasulullah, saya ingin shalat bersama anda.” Maka Nabi menjawab: “Aku sudah tahu bahwa engkau ingin shalat bersamaku, namun shalatmu di kamar tempatmu tidur lebih baik daripada shalatmu di kamarmu. Shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di ruang tengah rumahmu. Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kampungmu. Dan shalatmu di masjid kampungmu, lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini. Ummu Humaid lalu meminta untuk dibangunkan tempat shalat di pojok kamarnya yang paling gelap. Dan biasa melakukan shalat di sana hingga berjumpa dengan Allah ‘Azza wa Jalla (yaitu hingga beliau wafat)” (HR. Ibnu Hibban no. 2217, Ibnu Khuzaimah no. 1689, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Khuzaimah).
Hal tersebut karena shalat di rumah bagi wanita itu lebih menjaga dirinya lebih jauh dari fitnah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
إنَّما المرأةُ عَورةٌ فإذا خرجَت استشرَفَها الشَّيطانُ ، وأقرَبُ ما تَكونُ مِن وجهِ ربِّها وَهيَ في قَعرِ بيتِها صلاةُ المرأةِ في مَخدعِها أفضلُ من صلاتِها في بيتِها ، وصلاتُها في بيتِها أفضلُ من صلاتِها في حُجرتِها
“Sesungguhnya wanita itu adalah aurat. Jika ia keluar, setan akan menghiasinya. Seorang wanita paling dekat dengan Rabb-nya ketika ia berada di kamarnya. Shalatnya seorang wanita di ruangan kecil di dalam kamarnya lebih utama dari shalatnya di kamarnya. Dan shalatnya di kamarnya lebih utama dari shalatnya di ruang tengah rumahnya” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 4/201).
Terlebih lagi ketika keadaan para wanita umumnya banyak meniru perilaku wanita Jahiliyah dengan membuka aurat, berhias diri di depan lelaki non mahram, menggunakan pewangi dan semisalnya, maka anjuran shalat di rumah lebih ditekankan lagi. Ibunda Aisyah radhiallahu’anha mengatakan:
لو أدرك رسول الله صلى الله عليه وسلم ما أحدث النساء لمنعهن كما منعت نساء بني إسرائيل
“Andai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengetahui apa yang diperbuat para wanita, sungguh ia akan melarang para (pergi ke masjid) sebagaimana dilarangnya para wanita Bani Israil dahulu” (HR. Bukhari no. 831, Muslim no. 445).
Dan dengan anjuran ini, jika seorang wanita shalat di rumah, ia tetap bisa mendapatkan pahala semisal dengan lelaki yang shalat berjamaah di masjid. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘shalat seorang wanita lebih utama di rumahnya’. Maka ia mendapatkan keutamaan yang besar yang bisa menyamai keutamaan shalat di masjid, bahkan terkadang bisa lebih dari itu, atau bisa juga kurang dari itu. Intinya, shalat di rumah lebih utama di masjid bagi wanita. Jika shalat di rumah lebih utama dari pada di masjid, maknanya wanita tersebut mendapatkan pahala semisal pahala shalat di masjid atau bahkan lebih. Karena Rasul bersabda: ‘shalat seorang wanita lebih utama di rumahnya’. Hadits ini menunjukkan bahwa pahala yang didapatkan oleh seorang lelaki yang shalat berjama’ah di masjid juga didapatkan wanita. Semakin taat seorang wanita kepada Allah dan Rasul-Nya, semakin ia tunduk pada aturan Allah dan Rasul-Nya, maka ia semakin mendapatkan kebaikan yang besar. Ini karena rumah seorang wanita itu lebih menjaganya dan lebih jauh dari fitnah”
Wanita tetap boleh shalat di masjid
Walaupun dianjurkan untuk shalat di rumah, wanita Muslimah tetap dibolehkan untuk shalat di masjid. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تَمْنَعُوا إِماءَ اللهِ مساجِدَ اللهِ
“Jangan kalian larang para wanita hamba Allah untuk pergi ke masjid Allah” (HR. Bukhari no. 900, Muslim no. 442).
Namun hal ini selama memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Menutup aurat ketika keluar rumah dan berhijab dengan hijab syar’i
Allah Ta’ala berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
”dan janganlah kalian bertabarruj dan seperti tabarruj orang-orang Jahiliyah yang dahulu…” (QS. Al-Ahzab: 33).
2. Telah diizinkan oleh suami atau oleh wali
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمْ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا
“Jangan kalian larang istri-istri kalian untuk pergi ke masjid, jika mereka telah minta izin kepada kalian” (HR. Muslim no. 442).
3. Tidak memakai wewangian
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا شهِدتْ إحداكن المسجدَ فلا تمسَّ طِيبًا
“jika salah seorang dari kalian (wanita) datang ke masjid, maka janganlah menggunakan pewangi” (HR. Muslim 443).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
أيُّما امرأةٍ أصابت بَخورًا، فلا تشهَدْ معنا العِشاءَ الآخرةَ
“Wanita manapun yang terkena bakhur (semacam tumbuhan untuk wewangian) maka jangan mendatangi shalat Isya bersama kami di masjid” (HR. Muslim no. 444).
4. Menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang syariat seperti bercampur-baur dengan lelaki, bersalaman dengan lelaki non-mahram, dan lainnya.
Bagi wanita, lebih utama shalat tarawih di rumah atau di masjid?
Dari penjelasan di atas, kita ketahui bahwa secara umum wanita lebih utama shalat di rumahnya, namun boleh baginya shalat di masjid dengan beberapa syarat. Demikian juga berlaku pada shalat tarawih, wanita lebih utama shalat di rumahnya, namun boleh baginya shalat di masjid .
Tapi ketika ada maslahah yang lebih besar, terkadang wanita lebih utama untuk shalat tarawih di masjid. Diantara maslahah tersebut diantaranya:
Shalat tarawih di masjid lebih bersemangat, sedangkan di rumah terkadang malas
Shalat tarawih di masjid lebih khusyuk dan lebih panjang bacaannya, sedangkan panjang bacaan adalah keutamaan tersendiri dalam shalat tarawih
Dengan shalat tarawih di masjid, bisa mendapatkan faidah-faidah ilmu dan nasehat, jika diketahui di masjid ada para asatidz dan penuntut ilmu syar’i dari kalangan ahlussunnah yang biasa memberikan pelajaran dan nasehat di sela shalat tarawih
Dan maslahah lainnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ketika ditanya, “bagaimana hukum wanita shalat tarawih di masjid?”. Beliau menjawab: “Pada asalnya shalatnya wanita di rumahnya itu lebih utama dan lebih baik baginya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Namun jika wanita tersebut melihat ada maslahah untuk shalat di masjid dengan tetap menutup aurat dan menjaga hijab syar’i, dikarenakan shalat di masjid membuatnya lebih bersemangat, atau karena ia dapat mendengarkan faidah-faidah dari pelajaran agama yang disampaikan di sana, maka ini tidak mengapa walhamdulillah. Dan yang demikian itu baik karena terdapat faidah-faidah yang agung, dan semangat untuk beramal shalih”
Dipahami dari penjelasan beliau rahimahullah, bahwa pada asalnya wanita lebih utama shalat di rumah namun jika ada maslahah untuk shalat tarawih di masjid maka lebih utama di masjid.
Dewan Fatwa Islamweb juga menjelaskan: “Yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumah. Namun terkadang shalat di masjid mengandung beberapa keutamaan bagi wanita yang membuatnya lebih utama untuk shalat di masjid. Seperti adanya imam qaari yang bacaannya sangat membuat khusyuk shalat, atau adanya ahli ilmu yang mengajarkan pelajaran-pelajaran yang wajib diketahui oleh semua Muslim, atau di rumah terdapat gangguan berupa kebisingan, yang bisa membuatnya terluput dari tujuan shalat yaitu kekhusyukan, dalam keadaan-keadaan ini maka lebih utama shalat di masjid namun dengan memperhatikan syarat-syaratnya”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin juga menyatakan hal serupa: “Shalat tarawih di rumah bagi wanita lebih utama. Namun jika dengan shalatnya di masjid membuat dia lebih semangat dan lebih khusyuk, dan jika shalat di rumah ia khawatir shalatnya tidak khusyuk, maka ketika itu shalat di masjid lebih utama”
Sebagian ulama juga menilai, khusus untuk shalat tarawih bagi wanita lebih utama dilaksanakan di masjid. Karena dahulu shalat tarawih dilaksanakan di rumah-rumah, kemudian di kumpulkan oleh Umar bin Khathab radhiallahu’anhu menjadi satu jamaah. Ini menunjukkan pentingnya melaksanakan shalat tarawih berjamaah bagi semua orang termasuk wanita.
Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah menjelaskan:
“Apakah shalat tawarih bagi wanita lebih utama di rumah ataukah di masjid? Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama, shalat di rumah lebih utama. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i
Pendapat kedua, shalat di masjid lebih utama. Karena para sahabat radhiallahu’anhum dahulu shalat dalam jama’ah yang terpisah-pisah, namun kemudian Umar bin Khathab menyatukan mereka untuk shalat di belakang satu imam, dan ini diikuti oleh para sahabat setelahnya.
Oleh karena itu, kami katakan, shalatlah di masjid. Kecuali jika shalatnya anda di rumah bisa menjadi sebab semangatnya keluarga anda di rumah untuk shalat tarawih dan shalat berjamaah bersama anda di sana.
Dan jika anda shalat di masjid, janganlah pulang hingga imam selesai. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan At Tirmidzi dari Abu Dzar secara marfu’: “barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam hingga selesai, ditulis baginya shalat semalam suntuk””
Maka kesimpulannya, shalat tarawih bagi wanita lebih utama di rumahnya, namun ketika ada maslahah yang lebih besar, terkadang lebih utama untuk shalat tarawih di masjid.
Jika shalat di rumah boleh dilakukan secara berjamaah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan: “Lebih utama bagi wanita untuk shalat tarawih di rumahnya. Walaupun di dekatnya ada masjid yang mendirikan shalat tarawih. Jika ia shalat di rumahnya, tidak mengapa ia shalat secara berjamaah bersama para wanita di rumahnya. Dan dalam keadaan ini, jika ia tidak hafal Qur’an kecuali sedikit, maka tidak mengapa ia shalat sambil membaca dari mushaf”
Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan: “Shalat tarawih dilakukan di rumah dengan cara salam tiap dua rakaat, wanita yang menjadi imam berada di tengah-tengah bukan berada di depan makmum. Hendaknya ia (imam) bertakbir dan meninggikan suaranya sehingga semua makmumnya bisa mendengar. Ini yang disyariatkan. Karena diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu’anha dan juga dari istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang lain bahwa mereka melakukan demikian. Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami shalat jama’ah di rumahnya (Ummu Waraqah). Jika para wanita shalat berjamaah di rumah di bulan Ramadhan atau di waktu-waktu shalat wajib, ini semua baik”
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat, dan bisa berbuah menjadi amalan shalih. Wabillahi at taufiq was sadaad.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya: “apakah anak-anak kita perintahkan untuk berpuasa walaupun usia mereka masih di bawah 15 tahun, sebagaimana diperintahkannya mereka untuk shalat?”
Beliau menjawab:
Benar, anak-anak yang belum baligh hendaknya diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu. Sebagaimana para sahabat Nabi dahulu juga berpuasa ketika mereka masih kecil. Para ulama juga mengatakan bahwa wajib bagi para wali mereka untuk memerintahkan anak-anaknya berpuasa sejak kecil. Ini dalam rangka melatih mereka dan membuat ikatan antara mereka dengan puasa. Dan juga menerapkan landasan-landasan keislaman pada diri mereka sehingga perlahan menjadi suatu hal yang biasa bagi mereka. Namun jika puasa itu berat bagi mereka atau membahayakan diri mereka maka jangan dipaksakan.
Dan saya tekankan sekali lagi terkait adanya sebagian ayah dan ibu yang melarang anak-anak mereka berpuasa padahal para sahabat radhiallahu’anhum melakukannya di masa kecil. Para ayah dan ibu tersebut beralasan bahwa mereka melakukannya karena kasihan kepada anak-anaknya. Justru yang benar, sikap sayang yang hakiki kepada anak adalah dengan memerintahkan mereka menjalankan syariat-syariat Islam dan membiasakan mereka dengannya serta membuat ikatan hati antara mereka dengan Islam. Yang demikian ini tidak ragu lagi merupakan pendidikan yang baik dan pengasuhan yang sempurna.
Terdapat hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
إن الرجل راع في أهل بيته ومسؤول عن رعيته
“Seorang lelaki adalah pemimpin di rumahnya dan ia akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap yang ia pimpin“.
Maka hendaknya orang-orang yang diberi amanah berupa anak dan istri mereka bertaqwa kepada Allah Ta’ala dalam menjaga mereka, dan hendaknya mereka diperintahkan untuk menjalankan apa-apa yang diperintahkan syariat Islam.
***
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya: “apa hukum puasanya anak-anak?”
Beliau menjawab:
Puasanya anak-anak sebagaimana sudah kami jelaskan hukumnya tidak wajib, namun hukumnya sunnah. Jika mereka puasa maka mereka mendapat pahala. Namun mereka tidak berdosa jika tidak berpuasa. Namun hendaknya para wali mereka memerintahkan mereka agar terbiasa dengan puasa.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim pembukuan Alquran di Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah umat Islam.
Asal-Usulnya
Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang merupakan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya. Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuknya.
Kesungguhan Zaid
Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah menerima mereka.
Rasulullah memandangi mereka dengan pandangan terima kasih. Seakan-akan beliau menginginkan mereka untuk izin tidak ikut saja. Majulah anak muda yang bernama Rafi’ bin Khadij membawa sebuah belati atau tombak. Ia memamerkan keahliannya memegang senjata tersebut. Rafi’ berkata, “Sesungguhnya aku sebagaimana yang Anda lihat. Aku mahir dalam melempar senjata, karena itu izinkanlah aku.” Rasulullah pun mengizinkannya.
Kemudian Samurah bin Jundab pun maju. Salah seorang anggota keluarganya mengatakan, “Sesungguhnya Samurah lebih hebat dari Rafi.” Rasulullah pun mengizinkan beliau.
Tersisalah 6 orang pemuda pemberani lainnya. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka mengeluarkan segala kemampuan membujuk rayu Rasulullah. Tak mempan dengan lisan, mereka bujuk dengan air mata. Belum juga berhasil dengan cara mengiba itu, mereka unjuk kekuatan dengan menunjukkan otot-otot mereka. Tapi usia mereka masih terlalu muda. Dan tubuh mereka masih begitu kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak mereka secara halus sekaligus menghibur mereka dengan berjanji akan mengajak mereka pada perang selanjutnya.
Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusiasanya memulai pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq. Pada tahun 5 H.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata, “Pada Perang Bu’ats aku berusia 6 tahun. Hal itu terjadi 5 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Dan saat itu aku berusia 11 tahun. Aku dipertemukan dengan Rasulullah. Mereka berkata, ‘Ada seorang anak dari Kabilah Khazraj yang telah menghafal 16 surat’. Namun beliau tidak mengizinkan aku di Perang Badar dan Uhud. Barulah aku diizinkan di Perang Khandaq.”
Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid. Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan. Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”
Perlu diketahui, dahulu para sahabat menghafal 10 ayat-10 ayat. Ketika mereka sudah paham dan mengamalkannya barulah mereka menambah hafalan. Sehingga siapa yang paling banyak hafalannya, maka semakin baik kualitasnya di antara mereka.
Pemuda Anshar Yang Cerdas
Dari Amir, ia menceritakan:
Sesungguhnya tebusan tawanan Perang Badar adalah 40 ukiyah emas. Siapa yang memiliki kepandaian baca-tulis, mereka diperintahkan mengajar baca-tulis kepada 10 orang kaum muslimin. Di antara yang mendapat pengajaran adalah Zaid bin Tsabit. Zaid adalah seorang cendekia dan memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang. Ia seorang penghafal Alquran. Juru tulis Nabi yang menulis wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ia memiliki kualitas ilmu dan hikmah yang mendalam.
Ketika Rasulullah mulai menyampaikan risalah Islam keluar Madinah, melakukan surat-menyurat kepada para raja dan kaisar, beliau memerintahkan Zaid untuk mempelajari bahasa-bahasa mereka. Zaid pun berhasil menguasai bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang singkat.
Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku dipertemukan dengan Nabi saat beliau tiba di Madinah. Ada yang mengatakan, ‘Ini adalah seorang anak dari Bani Najjar. Ia telah menghafal 17 surat (diriwayat sebelumnya 16)’. Aku pun membacakannya di hadapan beliau. Beliau sangat terkesan. Lalu beliau berkata, ‘Pelajarilah bahasa Yahudi (bahasa Ibrani). Sesungguhnya aku tidak bisa membuat mereka beriman dengan kitabku’. Aku pun melakukan apa yang beliau minta. Berlalulah waktu tidak lebih dari setengah bulan, aku pun menguasainya. Kemudian aku menulis surat Nabi kepada mereka. Apabila mereka yang mengirimkan surat kepada beliau, akulah yang menerjemah.”
Dari Tsabit bin Ubaid dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah engkau bisa Bahasa Suryaniyah?” “Tidak,” jawabku. “Pelajarilah. Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita”, pinta Rasulullah. Aku pun mempelajarinya dalam rentang waktu 17 hari.
Kita teringat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافِهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai perkara yang terbaik dan membenci sesuatu yang asal-asalan.” (HR. ath-Thabrani).
Bagaimana pengaruh pendidikan Rasulullah terhadap para sahabat. Selain faktor kecerdasarn, tentu tekad dan kesungguhan juga berpengaruh besar. Sehingga Zaid begitu cepatnya menguasai bahasa-bahasa asing tersebut.
Al-A’masy mengatakan, “Pernah datang surat-surat kepada Zaid. Tapi ia tidak tertarik membacanya, kecuali yang ia percaya saja. Dari sinilah ia dikenal dengan panggilan Penerjemahnya Rasul.”
Penghafal Alquran
Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.
Awal Pembukuan Alquran
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.
Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”
Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.
Penyeragaman Bacaan Alquran
Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.
Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”
Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”
Keutamaan Zaid bin Tsabit
Figur seorang Zaid bin Tsabit memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kaum muslimin sangat menghormatinya. Suatu hari Zaid mengendarai hewan tunggangannya. Kemudian Abdullah bin Abbas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah.” “Tidak. Seperti inilah selayaknya kita menghormati ulama kita,” jawab Ibnu Abbas.
Yang Pertama Membaiat Abu Bakar
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara. Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.
Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.
Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana. Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan. Seandainya kalian melakuakn selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.
Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah dia’.
Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin Tsabit.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).
Seorang tokoh tabi’in, Muhammad bin Sirin, mengatakan, “Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal: Alquran dan faraidh.”
Wafatnya
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta.
Zaid bin Haritsah adalah salah satu orang pertama yang memeluk Islam. Ia merupakan sahabat sekaligus putera angkat Nabi Muhammad Saw. Zaid juga satu-satunya sahabat Nabi yang namanya diabadikan dalam Al-Quran. Meski Al-Quran mengabadikan peristiwa beberapa sahabat seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatab, tetapi nama mereka tidak disebut langsung.
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” QS. Al-Ahzab [33]: (37).
Zaid pada awal Islam mendapat nisbah nama kepada Nabi, sehingga dia menamai dirinya Zaid bin Muhammad. Namun, Allah di kemudian hari menurunkan wahyu-Nya dalam Surat Al-Ahzab ayat 5 yang menerangkan, anak-anak angkat tetap harus dipanggil dengan nama ayah kandung mereka, bukan ayah angkatnya.
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS. Al-Ahzab [33]: (5).
Setelah itu, Zaid mengatakan, “Aku adalah Zaid bin Haritsah.” Hal ini kemudian dianggap menurunkan Zaid dari derajat mulia yang disandangnya sebelumnya. Oleh karena itu, menurut pandangan ulama, Allah memuliakan Zaid dengan menurunkan ayat di atas yang secara eksplisit menyebutkan namanya.
Ada pun pelajaran yang tertuang dalam ayat tersebut adalah tentang masalah keluarga. Urutan kisahnya sebenarnya telah dimulai dari ayat ke-36.
Allah berfirman,“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” QS. Al-Ahzab [33]: (36).
Para ulama tafsir menyebutkan, ayat ini turun atas peristiwa pernikahan Zaid dan Zainab. Di mana Zaid yang hanya mantan budak, dinikahkan oleh Nabi dengan Zainab yang berketurunan terhormat Quraisy. Zainab juga merupakan sepupu Nabi.
Ibnu Katsir menukil dari tafsir Ibnu Jarir Ath Thabari, “Dari Ibnu Abbas, Firman Nya, (Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin…), di mana Rasulullah Saw. pergi untuk mencarikan istri bagi anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Beliau mendatangi Zainab binti Jahsy Al Asadiyah. Beliau melamarnya untuk Zaid.”
Zainab berkata, “Aku tidak mau menikah dengannya.” Kemudian Rasul berkata, “Menikahlah dengannya.”
“Ya Rasulullah, apakah aku harus melawan diriku sendiri?” tanya Zainab.
Ketika mereka berdua berbincang, turunlah ayat tersebut kepada Rasulullah.
Zainab pun berkata, “Apakah engkau ridha dia menikahiku, ya Rasulullah?”
Kemudian Rasul menjawab, “Ya.”
“Kalau begitu aku tidak berani bermaksiat kepada Rasulullah Saw,” tutur Zainab.
Pernikahan pun dilangsungkan. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pernikahan tersebut bermahar 10 Dinar, 60 Dirham, sebuah kerudung, satu selimut, sebuah baju besi, 50 Mud makanan dan 10 Mud kurma. Mahar yang tidak kecil untuk ukuran orang miskin. Tetapi ini setara dengan Zainab yang berasal dari kalangan Quraisy.
Kurang lebih setahun lamanya pernikahan itu berjalan. Zaid mencoba menjadi pemimpin rumah tangga. Zainab pun mencoba untuk menjadi istri yang baik. Lalu badai itu pun datang tak tertahankan.
Zaid memendam bara dalam hati. Al Alusy dalam tafsirnya menjelaskan, “Zainab bin Jahsy berkarakter keras. Dia terus membanggakan kehormatan dirinya di atas Zaid. Zaid mendengar hal-hal yang tidak disukainya darinya. Maka suatu hari, Zaid mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Zainab berlisan keras terhadapku dan aku ingin menceraikannya.”
Kemudian kisah itulah yang diabadikan dalam Surat Al-Ahzab ayat ke-37.
Biasanya, kisah shahabat nabi memiliki plot yang agak mirip. Awalnya memusuhi Islam, lalu datang hidayah dan selanjutnya berbalik secara drastis menjadi pembela Islam. Meski cahaya Islam telah menaungi, tapi tidak sedikit yang senantiasa dihantui kenangan hitam di masa jahiliyah. Seperti Umar bin Khattab yang selalu teringat anak putrinya yang telah ia bunuh atau Abu Sufyan al Haritsi yang terus saja menyesali permusuhannya pada Islam di masa lalu. Tapi diantara shahabat nabi yang lain, tidak sedikit pula yang “dari sana”nya memang orang baik-baik.
Misalnya, tiga orang shahabat Nabi yang bernama “Zaid”; Zaid bin Haritsah yang menjadi budak pertama yang masuk Islam, Zaid bin Tsabit yang sejak kecil masuk Islam, dan yang terakhir adalah Zaid bin Muhalhil yang sejak masa jahiliyahnya sudah terkenal sebagai seorang yang penyayang.
Nah kisah kali ini adalah kisah Zaid bin Muhalhil. Dulu dia dijuluki Zaid al Khail, Zaid sang Kuda jantan. Sebuah julukan yang mengisyaratkankemuliaan dan kebaikan. Tapi setelah masuk Islam, gelar itu diganti oleh rasulullah dengan “Zaid al Khair” atau Zaid sang pemilik kebaikan.
Zaid al Khair, sejak masa jahiliyahnya, beliau memang sudah terkenal sebagai pribadi yang baik dan penyayang. Sebuah kisah yang diceritakan oleh asy Syaibani dari seorang kakek dari bani Amir, dia menuturkan bahwa suatu ketika bani Amir ditimpa paceklik. Hujan yang kunung turun mengakibatkan ladang menajdi tandus. Sang kakek yang pada saat itu masih belum terlalu tua, merasa kasihan dengan anak dan isterinya.
Ia pun mencoba mencari peruntungan dengan pergi ke Hairah. Sampai disana, dia katakan pada anak dan istrinya, “Kalian tunggulah aku di sini sampai aku kembali membawa harta atau aku mati.” Dengan sedikit perbekalan, dia pun pergi. Di jalan, dia melihat tenda yang disampingnya ada unta yang ditambatkan. Dia berpikir bahwa itu adalah ‘ghanimah’, harta rampasan. Dengan mengendap ia mencoba mengambil unta itu. Namun malang, terdengar suara dari tenda, “lepaskan unta itudan rampaslah dirimu sendiri.” Ia pun urung mengambil unta tersebut.
Setelah tujuh hari berjalan, ia menemukan tenda yang lebih besar dan megah. Disampingnya terdapat tambatan unta. Ia berpikir, pasti ada unta disini. Ia pun mengendap ke dalam tenda, ternyata di dalamnya hanya terdapat seorang kakek yang sudah renta. Saat itu hari sudah mulai gelap. Ia pun mengendap dan tanpa sepengetahuan si kakek, dia bersembunyi di belakang tempat tidurnya. Lalu datanglah seorang penunggang kuda membawa seratusan ekor unta dan dua hamba sahaya. Ia berhenti dan berkata, “Perahlah unta ini, dan berikan pada kakek.” Salah seorang pembantunya pun memerah susu dan meletakkannya dihadapan sang kakek. Sang kakek pun meminum satu-dua teguk. Orang bani Amir yang bersembunyi dengan segera mengambil susu dan meminumnya hingga habis. Saat si pembantu masuk dia menemukan bejana susu sudah kosong. Ia berkata, “Kakek telah meminumnya semua.” Sang penunggang kuda menyuruh untuk memerah susu lagi. Kejadian serupa terjadi, tapi orang dari bani Amir hanya meminum separuh. Sang penunggang kuda lalu menyembelih kambing dan menyuapi sang kakek dengan tangannya. Setelah itu, ia dan dua hamba sahayanya makan samapi kenyang dan merekapun tertidur.
Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh orang dari Bani amir untuk membawa lari unta-unta yang ditambatkan tanpa penjaga. Ia hanya mengambil unta bunting yang ditambatkan. Tapi ternyata, unta-unta lain mengikutinya. Ia pun berjalan hingga siang keesokan harinya.
Sekonyong-konyong dari kejauhan ia melihat sesosok bayangan hitam mendekati. Ternyata dia adalah penunggang kuda. Setelah dekat, orang bani Amir mengambil panahnya dan siap menembak. Penunggang kuda berkata, “Lepaskan tali unta itu.” Orang Bani Amir berkata, “Tidak, aku meninggalkan isteri dan anak-anakku di Hairah, aku bersumpah aku tidak akan kembali kalau tidak membawa harta atau aku mati.”
Penunggang kuda berkata, “Kalau begitu, kau akan mati.” Terjadilah perdebatan. Tapi aneh, penungang kudaitu tidak menghunus pedang malah meminta agar orang Bani Amir itu memilih lubang tali kekang yang mana yang ingin dipanah. Ia pun memilih yang tengah. Penunggang kuda itupun memanah lubang tali itu seakan-akan ia memasukkanya dengan tangannya. Demikian pula dua lubang tali disampingnya. Tahu akan keakuratan tembakan musuhnya, orang dari Bani Amir menurunkan panahnya dan menyerah.
Penungganga kuda berkata, “Menurutmu, apa yang akan aku lakukan padamu?”
Orang bani amir menjawab, “Hal yang buruk.”
Penunggang kuda berujar, “Kau kira aku akan berbuat buruk padahal kau telah menemani “Muhalhil” makan, minum dan lalu engkau akan menyesali malam itu?”–Muhalhil ternyata adalah kakek di dalam tenda yang bukan lain adalah ayah penunggang kuda-. Mendengar nama Muhalhil yang kesohor, orang Bani Amir berkata, “ Jadi anda adalah Zaid al Khail, putra Muhalhil? Kalau begitu berbuat baiklah atas tawananmu ini.”
Penunggang kuda berkata, “Tak masalah. Kalau saja unta ini milikku pasti akan aku berikan padamu. Tapi unta-unta ini milik saudariku.”
Itulah Zaid di masa Jahiliyah. Sedang pada masa keislamannya, Zaid seumpama emas yang disepuh, mengkilap dan semakin indah. Beliau masuk Islam setelah mendengar khutbah Nabi Muhammad. Begitu mudah dan lancar hidayah mengalir ke sanubarinya. Setelah bersyahadat, Rasulullah bertanya, “Siapa kamu?” Zaid menjawab, “ Saya Zaid al Khail.” Rasulullah bersabda, “kamu Zaid al Khair, bukan al Khail.” Lalu Zaid diajak ke rumah beliau dan diberi bantal untuk bersandar. Tapi Zaid menolak karena sungkan duduk bersandar di hadapan Rasulullah.
Rasulullah bersabbda, “ Wahai Zaid, belum pernah ada orang yang diceritakan ciri-cirinya kepadaku, lalu aku menemukannya lebih dari yang diceritakan, selain dirimu. Wahai Zaid sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang dicintai Allah.”
Zaid bertanya, “ Apa itu wahai Rasulullah?”
Rasulullah bersabda, “Sifat welas asih dan lemah lembut.”
Zaid berkata, “ Segala puji bagi allah yang telah memberiku sifat yang dicintainya.”
Lalu seluruh pengikut Zaid memeluk Islam. Pada hari menjelang kepulangannya, Madinah terkena wabah demam. Zaid tetap pulang menuju kaumnya dengan harapan kaumnya bisa mendapat hidayah sepertinya. Tapi ajal tak dapat ditolak, Zaid terkena wabah demam dan belum sampai ia masuk ke rumahnya, malaikat maut telah menjemput dirinya.
Subhanallah, antara keislaman dan ajalnya, tak terdapat sedikitpun celah baginya untuk bermaksiat.
Semasa jahiliyahnya, Wahsyi –budak berkulit hitam yang merupakan penombak ulung – berhasil menombak Hamzah, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki julukan Asadullah (singa Allah). Namun ketika ia telah berislam, ia membunuh Musailamah Al-Kadzdzab sang Nabi palsu. Wahsyi bin Harb dikenal juga dengan Abu Dasamah. Dia adalah hamba sahaya Jubair bin Muth’im, seorang bangsawan Quraisy.
Pamannya, Thu’aimah bin Adi, tewas dalam Perang Badar di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib. Dia sangat sedih dan geram dengan kematian pamannya itu. Ia senantiasa menunggu waktu yang tepat untuk membalas dendam.
Tidak beberapa lama kemudian, kaum Quraisy mengambil keputusan untuk pergi ke Uhud guna menghukum Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya yang telah membunuh kawan-kawan mereka pada saat Perang Badar. Dibentuklah sebuah pasukan besar yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb.
Abu Sufyan memutuskan untuk mengikutsertakan para wanita, yang keluarga mereka telah terbunuh dalam Perang Badar untuk menggelorakan semangat prajurit dalam berperang. Mereka ditempatkan di samping laki-laki untuk mencegah mereka agar tidak melarikan diri.
Di antara para wanita yang pertama-tama mendaftarkan diri adalah Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb. Ayahnya, Utbah bin Rabfah dibunuh oleh Ubaidah bin Harits. Pamannya, Syaibah bin Rabi’ah tewas di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib, dan saudaranya, Al-Walid bin Utbah mati di tangan Ali bin Abi Thalib.
Semuanya tewas di medan Badar. Karena itu dendam Hindun sangat besar terhadap kaum Muslimin, terutama Hamzah bin Abdul Muthalib.
Ketika pasukan Quraisy akan berangkat, Jubair bin Muth’im berkata kepada Wahsyi, “Wahai Abu Dasamah, maukah engkau bebas dari perbudakan.”
“Bagaimana caranya,” tanya Wahsyi.
“Bila engkau berhasil menewaskan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Muhammad yang telah membunuh pamanmu, Thu’aim bin Adi, maka engkau kubebaskan dari perbudakan,” kata Jubair.
“Siapa yang menjamin kebebasanku bila aku berhasil?” tanya Wahsyi.
“Siapa saja yang engkau kehendaki. Akan kupersaksikan janjiku ini kepada seluruh masyarakat,” tegas Jubair.
Wahsyi pun setuju dengan perjanjian tersebut. Ia segera mengambil tombaknya dan berangkat bersama-sama dengan pasukan Quraisy. Ia berada di belakang pasukan bersama para wanita karena ia tidak terlalu mahir berperang. Hanya saja, Wahsyi memiliki kemahiran melempar tombak. Lemparannya tidak pernah meleset sedikit pun dari sasaran.
Setiap kali bertemu dengan Wahsyi, Hindun selalu melihat ke arah tombaknya yang berkilat-kilat kena sinar matahari, sembari berkata, “Wahai Abu Dasamah, sembuhkanlah luka hati kami. Tuntutkan bela dari Muhammad atas kematian bapak, paman, dan saudara kami.”
Ketika dua pasukan bertemu, Wahsyi keluar dari tenda dan mengincar Hamzah dengan diam-diam. Ia memang telah mengenalnya sebelum itu.
Tidak sulit bagi siapa pun untuk mengetahui siapa Hamzah bin Abdul Muthalib, karena dia selalu memakai bulu burung unta di kepalanya sebagai tanda kepahlawanan seperti lazimnya orang Arab waktu itu.
Memang, tidak lama kemudian, Wahsyi melihat Hamzah maju bagaikan unta kelabu, merobohkan lawan-lawannya dengan pedang tanpa hambatan. Tidak ada yang berani menghadang atau berdiri di hadapannya.
Sementara itu, Wahsyi berdiri di balik sebuah batu besar, menunggu Hamzah mendekat ke arahnya. Tiba-tiba seorang penunggang kuda pasukan Quraisy yang bernama Siba’ bin Abdul Uzza datang dan menantang Hamzah ke arah Wahsyi.
“Lawanlah aku, wahai Hamzah! Kemarilah!” tantang Siba’.
Hamzah menoleh lalu melompat ke arah Siba’. Tangannya bergerak memukulkan pedang. Sekali tebas Siba’ jatuh tersungkur bermandikan darah di hadapan Hamzah.
Wahsyi mengambil ancang-ancang dengan posisi yang tepat sambil membidikkan tombaknya. Setelah dirasa mantap, ia lemparkan senjata tersebut ke arah Hamzah. Tombak itu melesat tepat mengenai perut Hamzah bagian bawah, tembus ke selangkangannya.
Pahlawan Islam yang dikenal dengan ‘Singa Allah’ itu melangkah berat kira-kira dua langkah, kemudian jatuh dengan tombak bersarang di tubuhnya. Wahsyi tidak bergerak dari tempat persembunyiannya. Setelah yakin Hamzah benar-benar mati, baru ia mendatangi tubuh Hamzah dan mencabut tombaknya lalu kembali ke perkemahan karena tidak ada kepentingan selain itu.
Pertempuran berkecamuk dengan sengitnya. Korban pun mulai berjatuhan. Tatkala tentara kaum Muslimin mengalami desakan hebat, Hindun dan beberapa wanita lainnya keluar dari perkemahan, lalu melangkah di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.
Satu persatu ia bedah perut dan ia congkel mata mereka. Sedangkan hidung dan telinga, ia potong lalu dibuatnya menjadi kalung dan ia pakai. Hati Hamzah bin Abdul Muthalib ia kunyah dan muntahkan kembali.
Seusai pertempuran, Wahsyi kembali ke Kota Makkah bersama rombongan tentara Quraisy. Sampai di Makkah, ia pun dibebaskan oleh Jubair sesuai dengan janjinya. Sejak saat itu, Wahsyi bebas dari perbudakan dan merdeka.
Hari-hari terus berlalu. Kaum Muslimin yang berada di Madinah kian bertambah. Pasukan mereka semakin kuat dan besar. Semakin bertambah kekuatan kaum Muslimin, semakin besar kekhawatiran Wahsyi. Kegelisahan dan ketakutan semakin menghantuinya.
Tatkala kaum Muslimin berhasil menguasai Kota Makkah, Wahsyi melarikan diri ke kota Thaif mencari tempat yang aman. Namun hanya beberapa saat saja, penduduk Thaif pun menyatakan diri masuk Islam. Wahsyi bingung hendak lari ke mana.
Penyesalan datang menghinggapi dirinya. Bumi yang luas terasa sempit. Dalam keadaan seperti itu, seorang sahabat menasihatinya, “Percuma saja engkau melarikan diri, Wahsyi. Demi Allah, Muhammad tidak akan membunuh orang yang masuk agamanya dan mengakui kebenaran Allah dan rasul-Nya,” ujar sahabat tersebut.
Mendengar nasihat itu, Wahsyi berangkat ke Madinah. Di hadapan Rasulullah ia menyatakan diri masuk Islam. Namun, begitu mengetahui Wahsyi adalah pembunuh pamannya, Hamzah, Rasulullah memalingkan mukanya dan tidak mau melihat wajah Wahsyi. Hal itu terjadi sampai beliau wafat.
Walaupun Wahsyi tahu bahwa Islam menghapus dosa-dosanya yang telah lalu, tapi ia tetap menyesal. Ia tahu, musibah yang ia timpakan kepada kaum Muslimin saat itu sangat besar dan keji. Ia telah membunuh seorang pahlawan Islam secara licik dan tidak jantan. Karena itu, Wahsyi selalu menunggu kesempatan untuk menebus dosanya.
Setelah Rasulullah wafat, kepemimpinan kaum muslimin beralih ke tangan Abu Bakar Shiddiq radhiallahuanhu. Di bawah pimpinan Musailamah al kadzab si nabi palsu, Bani Hanifah dari Nejed, murtad dari agama Islam. Khalifah Abu Bakar menyiapkan bala tentara untuk memerangi Musailamah dan mengembalikan Bani Hanifah ke pangkuan Islam.
Wahsyi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bersama pasukan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid, ia berangkat ke medan Yamamah. Tidak lupa tombak yang ia pakai untuk membunuh Hamzah, ia bawa. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh Musailamah atau ia tewas sebagai syahid.
Ketika kaum Muslimin berhasil mendesak Musailamah dan pasukannya ke arah “Kebun Maut”, Wahsyi termasuk salah seorang yang selalu mengintai nabi palsu itu.
Saat Al-Barra’ bin Malik berhasil membuka pintu gerbang pertahanan musuh, Wahsyi dan kaum Muslimin tumpah ruah menyerbu markas Musailamah. Seorang Anshar turut mengincar Musailamah seolah-olah tidak boleh ada orang lain yang mendahuluinya.
Wahsyi bin Harb melompat ke depan. Setelah berada dalam posisi yang tepat, ia bidikkan tombaknya ke arah sasaran. Begitu dirasa tepat, Wahsyi melemparkan senjatanya! Tombaknya melesat ke depan mengenai sasaran.
Pada saat yang sama, prajurit Anshar yang sejak semula turut mengincar, melompat secepat kilat dan memukul leher Musailamah dengan pedangnya.
Hanya Allah-lah yang Maha tahu, siapa sebenarnya yang membunuh Musailamah. Wahsyi atau prajurit Anshar itu? Jika benar yang membunuhnya adalah Wahsyi, berarti ia telah menebus kesalahannya membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib dalam Perang Uhud. Apakah ganjaran orang yang telah membunuh musuh Islam kecuali surga?
Ia adalah khalifah ketiga yang memerintah dari tahun 644 (umur 69–70 tahun) hingga 656 (selama 11–12 tahun). Selain itu sahabat nabi yang satu ini memiliki sifat yang sangat pemalu. Utsman bin Affan 574-656 / 12 Dzulhijjah 35 H; umur 81–82 tahun) adalah sahabat Nabi Muhammad yang termasuk Khulafatu Rosyiddin yang ke-3. Utsman adalah seorang yang saudagar yang kaya tetapi sangatlah dermawan. Ia juga berjasa dalam hal membukukan Al-Qur’an
Utsman bin Affan adalah sahabat nabi dan juga khalifah ketiga dalam Khulafaur Rasyidin. ia dikenal sebagai pedagang kaya raya dan ekonom yang handal namun sangat dermawan. Banyak bantuan ekonomi yang diberikannya kepada umat Islam di awal dakwah Islam. Ia mendapat julukan Dzunnurain yang berarti yang memiliki dua cahaya. Julukan ini didapat karena Utsman telah menikahi puteri kedua dan ketiga dari Rasullah yaitu Ruqayah dan Ummu Kaltsum.
Usman bin Affan lahir pada 574 Masehi dari golongan Bani Umayyah. Nama ibunya adalah Arwa binti Kuriz bin Rabiah, ia masuk Islam atas ajakan Abu Bakar dan termasuk golongan As-Sabiqun Al-Awalun (golongan yang pertama-tama masuk Islam). Rasulullah sendiri menggambarkan Utsman bin Affan sebagai pribadi yang paling jujur dan rendah hati di antara kaum muslimin. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Aisyah bertanya kepada Rasulullah, ‘Abu Bakar masuk tapi engkau biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus, lalu Umar masuk engkau pun biasa saja dan tidak memberi perhatian khusus. Akan tetapi ketika Utsman masuk engkau terus duduk dan membetulkan pakaian, mengapa?’ Rasullullah menjawab, “Apakah aku tidak malu terhadap orang yang malaikat saja malu kepadanya?”
Pada saat seruan hijrah pertama oleh Rasullullah ke Habbasyah karena meningkatnya tekanan kaum Quraisy terhadap umat Islam, Utsman bersama istri dan kaum muslimin lainnya memenuhi seruan tersebut dan hijrah ke Habasyiah hingga tekanan dari kaum Quraisy reda. Tak lama tinggal di Makkah, Utsman mengikuti Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah. Pada peristiwa Hudaibiyyah, Utsman dikirim oleh Rasullah untuk menemui Abu Sofyan di Makkah. Utsman diperintahkan Nabi untuk menegaskan bahwa rombongan dari Madinah hanya akan beribadah di Ka’bah, lalu segera kembali ke Madinah, bukan untuk memerangi penduduk Mekkah.
Pada saat Perang Dzatirriqa dan Perang Gathfan berkecamuk, dimana Rasullullah memimpin perang, Utsman dipercaya menjabat walikota Madinah. Saat Perang Tabuk, Utsman mendermakan 950 ekor unta dan 70 ekor kuda, ditambah 1000 dirham sumbangan pribadi untuk perang Tabuk, nilainya sama dengan sepertiga biaya perang tersebut. Utsman bin Affan juga menunjukkan kedermawanannya tatkala membeli mata air yang bernama Rumah dari seorang lelaki suku Ghifar seharga 35.000 dirham. Mata air itu ia wakafkan untuk kepentingan rakyat umum. Pada masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman juga pernah memberikan gandum yang diangkut dengan 1000 unta untuk membantu kaum miskin yang menderita di musim kering.
Setelah wafatnya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua, diadakanlah musyawarah untuk memilih khalifah selanjutnya. Ada enam orang kandidat khalifah yang diusulkan yaitu Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdul Rahman bin ‘Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Selanjutnya Abdul Rahman bin Auff, Sa’ad bin Abi Waqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhah bin Ubaidillah mengundurkan diri hingga hanya Utsman dan Ali yang tertinggal. Suara masyarakat pada saat itu cenderung memilih Utsman menjadi khalifah ketiga. Maka diangkatlah Utsman yang berumur 70 tahun menjadi khalifah ketiga dan yang tertua, serta yang pertama dipilih dari beberapa calon. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram 24 H. Utsman menjadi khalifah di saat pemerintah Islam telah betul-betul mapan dan terstruktur.
ia adalah khalifah kali pertama yang melakukan perluasan masjid al-Haram (Mekkah) dan masjid Nabawi (Madinah) karena semakin ramai umat Islam yang menjalankan rukun Islam kelima (haji). ia mencetuskan ide polisi keamanan bagi rakyatnya; membuat bangunan khusus untuk mahkamah dan mengadili perkara yang sebelumnya dilakukan di masjid; membangun pertanian, menaklukan Syiria, Afrika Utara, Persia, Khurasan, Palestina, Siprus, Rodhes, dan juga membentuk angkatan laut yang kuat. Jasanya yang paling besar adalah saat mengeluarkan kebijakan untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf.
Selama masa jabatannya, Utsman banyak mengganti gubernur wilayah yang tidak cocok atau kurang cakap dan menggantikaannya dengan orang-orang yang lebih kredibel. Namun hal ini banyak membuat sakit hati pejabat yang diturunkan sehingga mereka bersekongkol untuk membunuh khalifah.
Kewafatan Utsman bin Affan
Khalifah Utsman kemudian dikepung oleh pemberontak selama 40 hari dimulai dari bulan Ramadhan hingga Dzulhijah. Beliau diberi 2 ulimatum oleh pemberontak (Ghafiki dan Sudan), yaitu mengundurkan diri atau dibunuh. Meski Utsman mempunyai kekuatan untuk menyingkirkan pemberontak, namun ia berprinsip untuk tidak menumpahkan darah umat Islam. Utsman akhirnya wafat sebagai syahid pada bulan Dzulhijah 35 H ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Qur’an. Persis seperti apa yang disampaikan Rasullullah perihal kematian Utsman yang syahid nantinya, peristiwa pembunuhan usman berawal dari pengepungan rumah Utsman oleh para pemberontak selama 40 hari. Utsman wafat pada hari Jumat 18 Dzulhijjah 35 H. Ia dimakamkan di kuburan Baqi di Madinah.
Utbah bin Ghazwan adalah seorang Muhajirin yang termasuk angkatan pertama masuk Islam. Sejak memeluk ajaran Islam, Utbah bertekad untuk tetap berpegang teguh pada agamanya.
Utbah adalah salah seorang muslim yang ikut berhijrah ke Habsyah. Namun, ia tidak tinggal lama di wilayah itu. Ia kembali Ke Mekkah karena ia begitu rindu kepada Rasulullah, setelah beberapa lama, ia hijrah ke Madinah.
Utbah adalah salah seorang pemanah terbaik di antara kaum muslim saat itu. Anak panah yang dilepaskannya selalu tepat mengenai sasaran. Ia juga menggunakan tombak dengan baik. Keahliannya telah berperan besar dalam menumpas musuh Allah. Hal itu, ia lakukan semasa Rasulullah masih hidup dan masa Rasulullah telah wafat.
Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Utbah diperintahkan untuk membebaskan wilayah ubullah dari tentara Persia. Umar melepas pasukan Utbah yang jumlahnya sedikit dengan memintanya untuk selalu tabah menghadapi musuh dan bertakwa kepada Allah swt. Sekalipun jumlahnya sedikit, pasukan Utbah mampu mengalahkan pasukan Persia, wilayah Ubullah pun dikuasai oleh pasukan muslim.
Di wilayah Ubullah, Utbah membangun kota Basrah dan mendirikan masjid besar. Setelah itu, Utbah hendak kembali ke Madinah. Namun keinginannya ia urungkan khalifah Umar meminta Utbah menjadi pemimpin memerintahan di Basrah, Utbah pun berdakwah di Barsah. Ia mengajarkan cara shalat, hukum Islam, dan memberikan teladan dalam menjalani kehidupan menurut ajaran Islam kepada kaum muslim di Basrah. Ia menjalani hidup zuhud (segala sesuatu tentang meninggalkan keduniawian), warak (patuh dan taat kepada Allah), dan sederhana. Ia berharap penduduk Basrah mengikuti cara hidup demikian dan meninggalkan kehidupan yang bermewah-mewahan. Ia menunjukkan bahwa hidup sederhana lebih baik dari pada hidup bermewah-mewahan. Namun, sebagaian penduduk Basrah tidak menyukai tindakan Utbah. Mereka bermaksud mempengaruhi Utbah dengan berbagai macam sanjungan dan kekayaan. Utbah benar-benar khawatir apabila kemewahan dunia merusak kaum muslim. Oleh karena itu, ia tak henti-hentinya menyeru agar umat islam menerapkan hidup sederhana.
Sebagian penduduk Basrah tidak menyukai kehidupan sederhana yang diterapkan oleh pemimpin mereka. Ketika mengetahui keberatan mereka. Utbah berkata, “Besok lusa kalian akan melihat pimpinan pemerintahan yang menggantikan diriku.”
Saat musim haji tiba, Utbah melaksanakan ibadah haji, setelah melaksanakan ibadah haji, Utbah menemui Khalifah Umar. Ia mengutarakan keinginannya untuk mengundurkan diri sebagai pimpinan pemerintahan di Basrah. Tentu saja, keinginan itu ditolak oleh Umar. Umar mengatakan, “Apakah kalian hendak menaruh amanat di atas pundakku? Kemudian, kalian meninggalkan aku untuk memikulnya seorang diri?. Tidak, Demi Allah tidak ku izinkan selama-lamanya!”
Utbah tidak dapat membantah keinginan Khalifah Umar. Ia patuh dengan perintah Umar. Ia pun bersiap untuk kembali ke kota Basrah dan hendak memimpin pemerintahan di sana. Sebelum pergi, Utbah berdoa kepada Allah agar dirinya tidak dikembalikan ke Basrah dan tidak menjadi pemimpin pemerintahan selamanya. Ternyata, Allah mengabulkan doa Utbah. Dalam perjalan menuju Basrah, Utbah mengembuskan napas terakhirnya. Demikianlah, Utbah yang menyukai hidup zuhud.
Sejarah Islam mencatat sejumlah panglima perang terhebat sepanjang masa. Salah satunya Usamah bin Zaid. Usamah merupakan panglima Islam termuda sekaligus panglima terakhir yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah. Ia mulai memimpin perang pada usia 18 tahun.
Saat Rasulullah SAW sakit, para musuh sengaja memanfaatkan keadaan. Mereka mengancam kekuatan Islam dengan membuat gejolak di perbatasan Syam. Dari arah Yaman bahkan muncul seseorang yang mengaku sebagai nabi.
Di tengah kondisinya yang tak sehat, Rasulullah tetap memerintahkan perlawanan ke perbatasan Syam. Dia juga menulis surat-surat perintah untuk membasmi nabi palsu. Baginda Nabi menunjuk Usamah sebagai panglima perang di perbatasan Syam. Ia membawahi sahabat lainnya termasuk Umar bin Khattab.
Beberapa sahabat mempertanya kan keputusan tersebut sebab banyak sahabat senior dalam pasukan, seperti Sa'ad bin Abi Waqqash, Said bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lainnya. Mereka dianggap lebih pantas memimpin pasukan. Mendengar berbagai perkataan yang terdengar me nye pe lekan Usamah, Umar segera me nemui Rasulullah. Mendengar kabar itu, Nabi Muhammad sangat marah.
Beliau kemudian bergegas mene mui para sahabat di Masjid Nabawi. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku mende ngar pembicaraan mengenai pengang katan Usamah? Demi Allah, seandai nya kalian menyangsikan kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya, Zaid bin Haritsah. Demi Allah Zaid sangat pantas memegang pimpinan, begitu pula dengan putranya Usamah."
Rasulullah melanjutkan, "Jika ayahnya sangat aku kasihi, putranya pun demikian. Mereka orang baik. Hendaklah kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga sebaikbaik manusia di antara kalian." Nabi SAW lalu kembali ke rumahnya. Mendengar sabda Rasul, kaum Muslimin mulai datang bergabung dengan pasukan Usamah.
Sebelum berangkat ke medan perang, terlebih dahulu Usamah menemui Rasulullah yang masih sakit. Ketika sang panglima termuda mencium wajah beliau, Rasul tak mengatakan apa pun selain mendoakan sekaligus mengusap kepala Usamah.
Belum jauh pasukan bergerak. Kabar wafatnya Rasulullah datang sehingga Usamah menghentikan laju pasukannya. Selanjutnya, ia bersama Umar dan Abu Ubaidah bergegas ke rumah Sang Nabi. Melalui musya wa rah yang masih diliputi kesedihan, Kaum Muslimin sepakat mengangkat Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai Khalifah menggantikan Rasulullah. Abu Bakar kemudian menyuruh Usamah kembali memimpin pasukan, seperti perintah Rasulullah.
Bersama pasukannya, Usamah bergerak cepat meninggalkan Madinah menuju perbatasan Syam. Setelah melewati beberapa daerah yang masih tetap memeluk Islam, akhirnya mereka sampai di Wadilqura. Dengan strategi perang yang matang, pasukan Usamah mampu mengalahkan musuh secara cepat.
Setelah 40 hari kemudian, mereka kembali ke Madinah membawa sejumlah harta rampasan perang serta tanpa jatuh korban satu pun. Sejak saat itu, putra Ummu Aiman tersebut disegani oleh para sahabat.
Waktu terus berjalan. Usamah pun mengembuskan napas terakhirnya pada 53 Hijriyah atau 673 Masehi. Selama hidupnya, sudah ia dedikasikan untuk membela agama Allah.
Usaid bin Hudhair Al Ausi radhiyallahu ‘anhu adalah seorang shahabat Nabi yang mulia dan merupakan pemuka kabilah Aus di Madinah, baik sebelum dia berislam maupun sesudahnya. Ia mewarisi posisi kepemimpinan ini dari ayahnya. Usaid juga merupakan sosok yang berkepribadian lurus, bersih dan teguh, serta memiliki pandangan yang tajam. Di masa jahiliah, ia dinilai layak mendapatkan julukan Al Kamil (perfeck/ideal)[1] seperti ayahnya.
Rantai nasab beliau adalah Usaid bin Hudhair bin Simak bin ‘Atik bin Imriil Qais bin Zaid bin Abdil Asyhal bin Jusyam bin Al Harits bin Al Khazraj bin ‘Amr bin Malik bin Al Aus. Setidaknya ada lima pendapat tentang kuniah beliau, namun menurut pendapat yang paling masyhur beliau ber-kuniah Abu Yahya. Ibunda beliau adalah Ummu Usaid binti An Nu’man bin Imriil Qais bin Zaid bin Abdil Asyhal.
Ayah beliau, yang disebut dengan Hudhair Al Kataib, adalah salah satu bangsawan Arab di masa jahiliah dan termasuk petempur-petempur Arab yang tangguh. Dialah kesatria berkuda andalan suku Aus. Dia pula komandan Aus di hari pertempuran Bu’ats, pertempuran yang mengakhiri rangkaian perang saudara antara mereka dengan suku tetangga mereka, yaitu Khazraj. Tapi sungguh naas, pertempuran yang terjadi enam tahun sebelum hijrahnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah ini menutup riwayat hidup Hudhair Al Kataib; ia tewas dalam perang sebelum berislam.
KISAH KEISLAMAN USAID BIN HUDHAIR
Seusai Baiat Aqabah pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu dari Mekah ke Madinah yang saat itu dikenal dengan nama Yatsrib, untuk mengajarkan Al Quran dan syariat Islam kepada penduduk Madinah yang telah beriman, dan mendakwahkan Islam kepada mereka-mereka yang belum berislam. Saat itu Usaid masih di atas kesyirikan. Setibanya di sana Mush’ab tinggal di kediaman Abu Umamah As’ad bin Zurarah.
Suatu ketika, Mush’ab tengah berkumpul bersama beberapa orang yang sudah berislam dari Al Ansar dalam sebuah majelis untuk menyampaikan dan memahamkan mereka ajaran dinul-Islam. Tokoh Aus lain sekaligus teman dekat Usaid yang bernama Sa’ad bin Mu’adz mengetahui hal ini. Dia ingin membubarkan mereka tapi tidak mampu karena As’ad bin Zurarah adalah sepupunya sendiri. Ia pun menghasut Usaid agar mau memperingatkan dan membubarkan mereka.
Lalu Usaid pergi mengambil tombak dan mendatangi mereka dengan menentengnya. Tatkala As’ad bin Zurarah melihatnya dari kejauhan, dia berkata kepada Mush’ab, “Orang ini adalah pemuka di kaumnya; ia mendatangimu”. Ketika Usaid telah berdiri di hadapan mereka, dia berkata, “Apa yang membawa kalian ke sini? Kalian hendak membodohi orang-orang lemah kami? Menyingkirlah!” Mush’ab menimpali, “Tidakkah Anda duduk dan mendengarkan? Jika Anda suka bisa Anda terima, dan jika Anda tidak suka akan kami hentikan.” Usaid menerima tawarannya. Ia menancapkan tombaknya lalu duduk.
Mush’ab mulai membacakan Al Quran dan menjabarkan prinsip-prinsip Islam kepada Usaid. Rupanya, Usaid tersentuh dengan kata-katanya. Tampak dari sinar wajahnya keinginan untuk berislam. Lantas dia berkata, “Alangkah bagus dan indahnya ucapan ini! Apa yang kalian kerjakan ketika ingin masuk agama ini?” Mereka menjawab, “Mandi dan menyucikan pakaian, kemudian bersyahadat, kemudian salat dua rakaat.” Dia pun lekas bangkit dan mengerjakan apa yang dituntunkan serta menyatakan keislamannya. Sa’ad bin Mu’adz juga berislam sesaat setelah Usaid berislam. Demikianlah keadaan hamba-hamba Allah yang berkalbu baik, mereka akan segera menerima kebenaran ketika mendengarnya; Allah ‘azza wa jalla memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada siapa yang pantas menerimanya.
Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu turut serta dalam Baiat Aqabah kedua bersama tujuh puluh orang Al Ansar. Beliau adalah salah satu dari kedua belas Nuqaba’ yang saat itu diamanahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengawasi dan bertanggung jawab atas kaumnya yang telah masuk Islam, di samping juga mendakwahkan Islam kepada yang belum beriman. Beliau dipercaya sebagai penanggung jawab muslimin dari suku Aus.
Setibanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Kota Madinah, beliau mempersaudarakan Usaid dengan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu. Selanjutnya Usaid turut serta dalam pertempuran-pertempuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika pecah perang Uhud, Usaid terluka pada tujuh bagian dari tubuhnya. Namun beliau tetap tegar bersama beberapa shahabat lain di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membentengi beliau dari tebasan pedang, tusukan tombak, dan lesatan anak panah yang dengan intens dilakukan oleh pasukan kafir Quraisy. Seluruh peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diikuti oleh Usaid, kecuali perang Badar.
Diriwayatkan bahwa Usaid berkata kepada Nabi sekembalinya beliau dari Badar dan menyampaikan alasan ketidak ikutsertaannya ini, “Segala puji hanya bagi Allah yang telah memenangkan Anda dan menyejukkan mata Anda. Demi Allah, wahai Rasulullah, tidaklah aku tertinggal dari perang Badar dalam keadaan aku tahu bahwa Anda hendak menjumpai pasukan musuh, tapi aku mengira bahwa Anda hanyalah akan mencegat kafilah dagang. Seandainya aku tahu bahwa Anda akan berperang melawan musuh tentu aku tidak akan tertinggal.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima alasannya. Usaid juga turut serta dalam penaklukan baitul maqdis di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu.
At Tirmidzi dan lainnya meriwayatkan sebuah hadis yang dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو بَكْرٍ، نِعْمَ الرَّجُلُ عُمَرُ، نِعْمَ الرَّجُلُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، نِعْمَ الرَّجُلُ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْرٍ
“Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Bakar. Sebaik-baik laki-laki adalah Umar. Sebaik-baik laki-laki adalah Abu Ubaidah Ibnul Jarrah. Sebaik-baik laki-laki adalah Usaid bin Hudhair.”
KARAMAH USAID BIN HUDHAIR
Pada suatu malam yang gelap gulita, Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu dan temannya yang bernama ‘Abbad bin Bisyr berbincang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang suatu keperluan. Kemudian saat mereka bangkit dan keluar dari tempat tersebut, bercahayalah tongkat salah satu dari mereka berdua hingga menerangi jalan mereka. Tatkala jalan memisahkan mereka, bercahayalah tongkat masing-masing dari mereka hingga menerangi jalannya.
Usaid adalah salah seorang shahabat Nabi yang memiliki suara yang indah dalam tilawatil Quran. Pada suatu malam ia membaca surat Al Baqarah sementara kuda miliknya berada di dekatnya dalam keadaan terikat, dan anak laki-lakinya yang bernama Yahya berada di sampingnya dalam keadaan tidur. Tiba-tiba kudanya gaduh dan berputar-putar. Usaid pun menghentikan bacaannya dan bangkit karena mengkhawatirkan putranya. Lalu kuda tersebut diam dan tenang kembali. Kemudian dia melanjutkan bacaannya, dan kuda itu kembali bergerak-gerak. Hal itu terjadi beberapa kali. Kemudian ia mengangkat pandangannya ke langit. Ia melihat sesuatu seperti awan yang terdapat padanya lampu-lampu mendekat dari langit. Ia ketakutan dan tidak melanjutkan bacaannya. Di keesokan harinya, Usaid menceritakan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi mengatakan, “Itu adalah para malaikat. Mereka mendekat untuk mendengarkan suara bacaanmu. Seandainya engkau terus membaca niscaya orang-orang akan melihat mereka di pagi hari.”
WAFATNYA USAID BIN HUDHAIR RADHIYALLAHU ‘ANHU
Usaid meninggal dunia di bulan Sya’ban tahun dua puluh Hijriah. Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu ikut mengusung jenazahnya ke pemakaman Baqi’ dan menyalatinya di Baqi’. Usaid wafat dengan meninggalkan utang senilai empat ribu dirham. Lalu ahli warisnya berniat menjual kebun peninggalannya untuk menutupi utang tersebut. Mendengar hal itu, Sang Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menawarkan kepada para pemberi utang untuk menangguhkan pelunasan, dengan mereka menerima seribu dirham dari hasil kebun tersebut setiap tahunnya, hingga terlunasi dalam empat tahun. Mereka pun menerima tawarannya.
Radhiyallahu ‘anish-shahabati ajma’in. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tiba di pinggir kota Madinah sesudah lama menanggung luka. Penduduk Madinah berdesak-desakan di jalan-jalan dan di loteng-loteng rumah, menyambut kedatangan beliau, sambil mengucapkan tahlil dan takbir, menunjukkan kegembiraan mereka bertemu dengan Rasulullah dan sahabatnya, Abu Bakar Shiddiq. Gadis-gadis remaja keluar membawa rebana, dengan pandangan mata penuh kerinduan sambil menyanyikan lagu merdu :
Telah muncul purnama raya di tengah-tengah kita,
Dari celah-celah gunung terlewati,
Kami wajib bersyukur,
Atas da’wahnya menyembah Allah.
Arak-arakan mengiringi Rasulullah yang berjalan perlahan-lahan di antara barisan orang-orang banyak, dikelilingi hati dan penuh rindu serta curahan air mata bahagia.
Tetapi sayang, Uqbah bin Amir Al Juhani tidak menyaksikan pawai bahagia menyambut kedatangan Rasulullah tersebut. Dia tidak beruntung datang bersama orang banyak, karena ketika itu dia pergi ke gurun pasir mengembalakan domba-dombanya. Dia takut domba-domba itu akan mati kehausan dan kelaparan, karena hanya domba-domba itulah yang dimilikinya, sebagai harta kekayaan dunia baginya.
Tetapi suasana gembira-ria itu cepat menyusup ke segenap pelosok Madinah Al Munawwarah, memenuhi lembah dan bukit, jauh maupun dekat. Dan berita suka-cita itu sampai pula kepada Uqbah bin Amir Al Juhani yang sedang menggembalakan domba-dombanya jauh di gurun pasir. Marilah kita dengarkan Uqbah bin Amir Al Juhani mengisahkan pertemuannya dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam :
Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. tiba di Madinah, aku sedang menggembalakan domba-dombaku. Setelah mendengar kedatangan beliau, kutinggalkan domba-domba itu, dan segera berangkat menemuinya tanpa menunggu. Setelah bertemu beliau, aku berkata padanya, “Berkenankan Tuan membai’at saya, ya Rasulullah?”
“Siapakah Anda?” tanya beliau.
Jawabku, “Saya Uqbah bin Amir Al Juhani!”
Tanya Rasulullah, “Bai’at bagaimana yang anda kehendaki. Bai’at Arabi atau bai’at Hijrah?”
Jawabku, “Saya ingin dibai’at secara Hijrah.”
Lalu Rasulullah membai’atku seperti bai’at kaum muhajirin. Sesudah itu aku bermalam di tempat beliau. Kemudian aku kembali menggembalakan domba.
Kami berjumlah dua belas penggembala yang telah masuk Islam. Kami bermukim jauh dari keramaian kota Madinah, menggembalakan domba di gurun-gurun dan lembah. Teman-teman berkata sesamanya, “Tidak baik bila kita tidak mendatangi Rasulullah setiap hari, untuk belajar agama dan mendengarkan wahyu Allah dari padanya. Setiap hari seorang diantara kita harus pergi ke kota menemui beliau, dan kita yang tinggal harus bertanggung jawab menggembalakan dombanya.”
“Baiklah!” jawabku. “Pergilah kalian mendatangi beliau bergantian satu demi satu. Siapa yang mendapat giliran pergi, biarlah aku yang menggembalakan dombanya. A ku sangat kuatir meninggalkan anak-anak dombaku kepada siapapun.”
Kawan-kawan pergi satu demi satu secara bergantian mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Domba yang ditinggalkannya, dipercayakannya kepadaku untuk kugembalakan. Bila dia pulang, aku belajar kepadanya pelajaran yang diperolehnya dari Rasulullah. Tetapi tidak lama kemudian aku menyadari kerugianku, dan berkata dalam hati, “Persetan! Aku tidak peduli domba-domba ini makan atau tidak. Dengan menggembalakan aku terasa sangat merugi, karena tidak dapat berdampingan dengan Rasulullah, menyimak pelajaran langsung dari mulut beliau tanpa perantara. Lalau kutinggalkan domba-dombaku, dan kau berangkat ke Madinah, untuk tinggal dan menetap di masjid, disamping Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam."
Ketika mengambil keputusan yang menentukan itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran Uqbah, bahwa pada suatu waktu dia akan menjadi seorang alim besar di antara para sahabat yang ulama-ulama besar; dia akan menjadi salah seorang Qari (ahli baca Al Qur’an) di antara para qari terkemuka; dia akan menjadi seorang panglima perang di antara para panglima dan penakluk yang terpandang, dia akan menjadi seorang pemimpin di antara para pemimpin di antara para pemimpin yang pantas diperhitungkan. Semua itu tidak pernah terbayang baginya walau agak secuil pun. Bahkan dia hanya membayangkan domba-domba gembalaannya, apakah domba-domba itu cukup terpelihara atau tidak sepeninggalnya. Dia berangkat ke pusat da’wah agamaAllah, untuk berdampingan dengan Rasulullah, guna mempelajari agama kepada Rasul yang mulia. Dia tidak pernah menyadari akan menjadi tentara pelopor yang bakal membebaskan ibu kota dunia waktu itu, yaitu Damaskus, dan bakal mendiami istana di sebuah taman nan indah menghijau dekat Bab Tuma.
Dia juga tidak pernah membayangkan sedikit juapun akan menjadi seorang panglima, penakluk permata dunia yang indah subur, yaitu Mesir; akan menjadi penguasa negeri itu, dan akan membangun sebuah istana untuknya. Semua itu hanya tersimpan di alam gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala.
Uqbah bin Amir Al Juhani berdampingan dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. bagaikan bayang-bayang dengan orangnya. Dia memegang tali kendali bighal Rasulullah dan menuntunnya kemana beliau pergi. Dia berjalan di hadapan setiap beliau bepergian. Terkadang-kadang Rasulullah memboncengnya di belakang, sehingga Uqbah digelari para sahabat “Radif Rasulullah” (boncengan Rasulullah). bahkan pernah juga Rasulullah turun dari bighal, dan menyilakan Uqbah mengendarai bighal. Sedangkan Rasulullah berjalan kaki di sampingnya.
Uqbah bercerita: Pada suatu ketika aku menuntun bighal Rasulullah di hutan semak Madinah. Beliau bertanya kepadaku, “Hai Uqbah! Mengapa engkau tidak mau naik kendaraan?!”
Aku sebenarnya hendak menjawab, tidak. Tetapi aku takut durhaka kepada Rasulullah. Lalu aku menjawab, “Baiklah, ya Rasulullah!”
Rasulullah turun dari kendaraan, dan aku naik menggantikan, untuk memenuhi keinginan beliau. Sedangkan beliau berjalan kaki. Tidak lama kemudian aku turun, dan Rasulullah naik kendaraan. Beliau bertanya kepadaku, “Hai, Uqbah! Sukakah engkau aku ajarkan kepadamu dua buah surat yang tidak ada bandingannya?”
“Tentu suka, ya Rasulullah!” jawabku.
Lalu beliau membacakan kepadaku surat “Al Falaq” dan “An Naas”.
Setelah waktu shalat tiba, beliau membaca kedua surat tersebut dalam shalat. Kata beliau, “Bacalah kedua surat itu setiap engkau hendak tidur, dan ketika bagun dari tidur.”
Kata Uqbah melanjutkan ceritanya, “Sejak itu, aku senantiasa membaca kedua surat itu sepanjang hidupku, sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam.”
Uqbah bin Amir Al Juhani memusatkan perhatiannya kepada keda bidang terpenting, yaitu bidang ilmu dan jihad. Diterjuninya kedua bidang itu dengan seluruh jiwa dan raganya. Bahkan dia tidak segan-segan mengorbankan segalanya dan tanpa mengenal lelah untuk memperoleh keduanya.
Dalam bidang ilmu dia langsung mereguknya dari sumber yang murni dan suci, yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. sehingga ia berhasil menjadi ahli baca Al Qur’an (pandai membaca dengan benar dan fashih, hafal, faham makna dan tujuannya), menjadi ahli hadits, ahli fiqh, ahli fara-idh, di samping dia menjadi seorang pujangga/sastrawan, fashih, dan penyair. Dia memiliki suara terindah di antara para ahli baca Al Qur’an. Bila hari sudah jauh larut malam, suasana sudah tenang, sunyi dan sepi, maka diambillah Kitabullah, lalu dibacanya ayat-ayat suci yang maknanya jelas dan gamblang. Hati para sahabat tergugah dan tunduk bila mendengarkan bacaannya yang merdu menggetarkan. Sehingga air mata mereka bercucuran karena takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Umar bun Khaththab pernah memanggil Uqbah, lalu katanya, “Hai, Uqbah! Tolong bacakan kepadaku ayat-ayat Al Qur’an!”
“Baik, ya Amiral Mu’minin!” jawab Uqbah patuh.
Maka dibacanyalah Al Qur’an. Umar menangis bercucuran air mata, sehingga membasahi jenggotnya.
Uqbah meninggalkan sebuah mushaf hasil karya tangannya sendiri. Mushhaf tersebut belum lama ini masih terdapat di Mesir, pada sebuah Universitas (Jami’ah) yang terkenal dengan nama “Jami’ah Uqbah Ibnu Amir” (Universitas Uqbah Ibnu Amir). Di akhir mushhaf tersebut tercantum kalimat, “Katabahu Uqbah bin Amir Al Juhani” (Ditulis oleh Uqbah bin Amir Al Juhani). Mushhaf tersebut adalah yang terkuno di antara segala mushhaf yang dapat ditemukan, tetapi kita lalai memeliharanya.
Dalam bidang jihad, dia turut berperang bersama-sama Rasulullah dalam peperangan Uhud dan peperangan-peperangan sesudah itu. Dia seorang ahli strategi militer terkemuka yang sanggup mengacaukan pertahanan musuh dalam banyak peperangan. Dalam peperangan menaklukan Damsyiq dia mendapat cedera, luka parah.
Maka Panglima Abu Ubaidah mengirimnya ke Madinah sebagai kurir istimewa, untuk menyampikan laporan kepada Khalifah Umar. Delapan hari delapan malam (Jum’at ke Jum’at) dia berpacu tanpa henti, sehingga Khalifah Umar beroleh berita gembira atas kemenangan-kemenangan yang dicapai kaum muslimin.
Kemudian dia diangkat menjadi perwira dalam ketentaraan kaum muslimin untuk menaklukkan Mesir. Lalu Amirul Mukminin – ketika itu Mu’awiyah bin Abu Sufyan – mengangkatnya menjadi Gubernur di negeri itu. Setelah memegang jabatan itu selama tiga tahun, Mu’awiyah menugaskannya dalam peperangan menaklukkan Rodhes di Laut Tengah. Karena seringnya Uqbah bin Amir turut berperang, menyebabkan dia banyak menyimpan kisah-kisah nyata pengalamannya berperang, yang diceritakannya kepada kaum muslimin. Dia adalah seorang pemanah jitu. Bila dia ingin bermain-main atau berolah raga, maka dia melakukan olah raga memanah sambil berlatih.
Tatkala Uqbah sakit mendekati ajal, dia berada di Mesir. Dikumpulkannya anak-anaknya lalu dia berwasiat : “Hai anak-anakku! Aku larang kalian melakukan tiga perkara. Maka jauhilah ketiga-tiganya. Pertama: Jangan menerima hadits Rasulullah kecuali dari orang-orang yang tsiqqah (dipercaya). Kedua: Jangan berhutang, sekalipun pakaian kalian compang-camping. Ketiga: Jangan menulis sya’ir (sajak) sehingga menyebabkan hati kalian lalai terhadap Al Qur’an.”
Dia dimakamkan di kaki bukit Al Muqaththam. Setelah mereka periksa peninggalannya, antara lain terdapat tujuh puluh tujuh busur panah. Setiap busur mempunyai sebuah tanduk (sebagai tempat anak panah). Uqbah berwasiat, supaya busur-busur panah tersebut dimanfaatkan oleh kaum muslimin dalam jihad fi sabilillah.
Semoga Allah melimpahkan cahaya ke wajah Uqbah, seorang qari. alim, dan panglima perang. Dan semoga Allah memberinya pahala dengan pahala yang sangat baik. Amin!!!
Perang Badar dimenangkan oleh pasukan kaum muslimin. Rasa syukur pun selalu mereka panjatkan ke hadirat Allah SWT. Sebaliknya, kekalahan yang diterima kaum musyrikin Quraisy benar-benar membuat mereka makin geram.
Umair bin Wahab dan Shafwan bin Umayyah mengungkapkan kekesalan mereka atas kemenangan umat Islam. Umair berkata kepada Shafwan, "Ah, seandainya aku tidak sedang dililit utang dan keluargaku bisa kutinggalkan saat kesulitan sekarang, aku akan mencari Muhammad dan membunuhnya!"
Mendengar perkataan Umair tersebut, Shafwan menyambut ide Umair dan berkata, "Baiklah, jika kau berhasil membunuh Muhammad dan menyiksanya dengan keji, aku berjanji akan memberimu 100 ekor unta. Dengannya kamu bisa melunasi semua utang keluargamu, begitu pula keluargamu akan aku jadikan bagian dari keluargaku!"
Tawaran yang menggiurkan. Tanpa pikir panjang, Umair langsung menerima tawaran Shafwan dengan senang hati.
"Tapi ingat! Ini adalah rahasia kita berdua. Jangan sampai kauceritakan kepada yang lain!" pesan Shafwan kepada Umair.
Umair pun segera berangkat ke Medinah untuk melaksanakan rencana kejinya tersebut. Akan tetapi, malang baginya, di tengah perjalanan ia bertemu Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah saw yang sangat ditakuti kaum Quraisy karena keberanian dan pukulannya yang menyakitkan. Rasa takut menyergap Umair, apalagi ketika Umar menggiringnya untuk menghadap Rasulullah saw.
Interogasi terhadap Umair atas maksud kedatangannya ke Medinah dimulai di hadapan Rasulullah saw. Beliau bertanya, "Apa maksud kedatanganmu ke sini?"
Umair tidak mungkin menjawab dengan jujur niatnya untuk membunuh pemimpin umat Islam itu sendiri. Ia berkilah, "Sungguh kedatanganku ke sini untuk menebus putraku yang telah kalian tawan."
Rasulullah saw sebenarnya sudah mengetahui bahwa Umair berbohong. Beliau mendapat petunjuk dari Allah SWT. Berkali-kali beliau bertanya kepada Umair, berkali-kali pula ia terus berbohong.
Akhirnya, Rasulullah saw mengakhiri kebohongan Umair dengan berkata, "Aku tahu engkau telah bersekongkol dengan Shafwan untuk membunuhku. Dengan melakukannya, Shafwan akan memberikanmu 100 ekor unta untuk melunasi seluruh utang keluargamu dan menjadikan keluargamu bagian dari keluarganya!"
Umair tersentak kaget mengetahui Rasulullah saw bisa membongkar niat busuknya. Dia sangat heran, "Benar-benar tidak habis pikir, bagaimana Rasulullah bisa mengetahui rencana busukku, padahal tidak ada orang lain yang mendengarkan, hanya aku dan Shafwan. Lagi pula percakapan itu terjadi di Mekah, jauh dari Medinah tempat Rasulullah saw berada?"
Kebenaran berita yang disampaikan Rasulullah saw membuat Umair yakin bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah. Ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai ketundukannya pada Islam. Rasulullah saw menyambutnya dengan baik.
Tidak ada prasangka atau dendam sama sekali kepada Umair. Bahkan, beliau menyuruh para sahabat untuk mengajari Al-lslam kepada Umair, sampai ia memahaminya dengan baik. Ditambah lagi, semua tawanan yang diminta oleh Umair, beliau bebaskan tanpa keberatan sama sekali.
Waktu pun berlalu. Saat dirasa ilmu yang dimiliki Umair sudah cukup, Rasulullah saw mengizinkannya untuk kembali ke Mekah. Di sana ia menyiarkan Islam dan hasilnya hampir seluruh masyarakat Mekah masuk Islam berkat dakwahnya.
Bocah yang bernama Umair bin Sa’ad al-Anshari telah merasakan hidup sebagai yatim dan orang miskin sejak kecilnya. Ayahnya telah kembali ke pangkuan Tuhan tanpa meninggalkan harta atau orang yang akan membiayainya.
Namun ibunya berhasil untuk menikah lagi dengan seorang hartawan dari suku Aus yang dikenal dengan Al-Julas bi Suwaid. Pria ini kemudian menanggung biaya hidup Umair dan menjadikan ia sebagai anggota keluarga. Umair merasakan kebaikan, asuhan dan perasaan lembut yang dimiliki Al-Julas sehingga membuatnya terlupa bahwa dia adalah seorang yatim.
Umair mencintai Al-Julas seperti ayahnya sendiri. Sebagaimana Al-Julas mencintai Umair seperti layaknya seorang anaknya.
Semakin Umair bertambah dewasa, maka Al-Julas semakin cinta kepadanya. Sebab Al-Julas mendapati bahwa Umair memiliki tanda-tanda kecerdasan dan kemuliaan yang terlihat dari setiap amalnya. Ia juga memiliki sifat amanah, jujur yang terlihat dari perilakunya.
***
Pemuda yang bernama Umair memeluk Islam pada saat ia masih belia, belum genap 10 tahun. Iman merasuk ke dalam sebuah ruang di hatinya dan tidak berlari dari tempatnya. Ia juga mendapati Islam dalam jiwanya yang masih suci dan bersih. Meski masih dalam usia belia, namun ia tidak pernah absen dari shalat berjamaah di belakang Rasulullah. Ibunya merasa bahagia setiap kali melihatnya pergi ke masjid atau kembali darinya. Terkadang bersama suaminya, terkadang ia berangkat sendiri saja.
***
Beginilah kehidupan pemuda Umair berlangsung; tenang tanpa ada halangan dan tidak ada kekeruhan. Sehingga kehendak Allah menentukan bahwa bocah yang hampir baligh ini akan mendapatkan cobaan yang paling berat, dan memberikannya ujian yang jarang diterima oleh pemuda dalam usianya.
Pada tahun ke-9 Hijriyah, Rasulullah SAW mengumumkan niatnya untuk menyerang Romawi di Tabuk. Beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk bersiap-siap.
Kebiasaan Rasulullah adalah jika beliau hendak melakukan perang, beliau tidak akan menceritakannya. Manusia menduga bahwa Rasulullah akan menuju suatu arah yang sebenarnya bukan itu yang dimaksud. Kecuali dalam perang Tabuk. Dalam perang ini, Rasul menceritakan niatnya kepada seluruh manusia karena jauhnya jarak, beratnya penderitaan, dan kuatnya musuh manusia agar semua mengerti akan tugas mereka. Agar mereka dapat mempersiapkan dengan baik tugas ini.
Meskipun musim panas telah datang, cuaca panas terik terasa, buah-buahan telah masak, bayangan telah sempurna dan jiwa manusia menjadi malas dan tak mau bergerak. Meski demikian kaum Muslimin memenuhi seruan Nabi mereka dan langsung bersiap-siap.
Namun sebagian kaum Munafikin membuat tekad kaum Muslimin melemah, membuat mereka ragu, dan menjelek-jelekkan Rasulullah dan mengucapkan kata-kata yang dapat menjerumuskan mereka dalam kekufuran.
***
Pada suatu hari ketika pasukan Muslimin akan berangkat, pemuda yang bernama Umair bin Sa’ad kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan shalat di masjid. Hatinya dipenuhi dengan sekumpulan kisah menarik dari pengorbanan kaum Muslimin yang ia lihat dengan matanya dan ia dengar lewat telinganya.
Ia melihat para wanita kaum Muhajirin dan Anshar yang datang menghadap Rasulullah lalu melepaskan dan memberikan perhiasan mereka kepada beliau untuk membayar biaya pasukan yang berperang di jalan Allah.
Ia melihat dengan mata kepalanya bahwa Utsman bin Affan membawa sebuah kantong yang berisikan 1000 dinar emas dan diberikan kepada Nabi SAW. Ia menyaksikan Abdurrahman bin Auf membawa di atas lehernya 100 awqiyah dari emas dan diberikan kepada Rasulullah. Bahkan ia juga melihat seorang pria yang menjual kudanya untuk dibelikan pedang sehingga ia dapat berjuang di jalan Allah.
Maka Umair bin Sa’ad menjadi amat kagum dengan peristiwa tersebut, dan ia merasa aneh mengapa Al-Julas tidak bersegera untuk siap dan berangkat bersama Rasulullah, dan mengapa ia terlambat memberikan bantuan padahal ia adalah orang yang mampu dan memiliki keluasan.
Maka Umair berusaha untuk membangkitkan semangat Al-Julas dan memotivasinya. Umai menceritakan kisah tentang apa yang telah ia lihat dan ia dengar. Khususnya kisah beberapa Muslimin yang datang menghadap Rasulullah dan meminta beliau agar mengizinkan mereka untuk bergabung dengan pasukan Muslimin berjihad di jalan Allah. Namun Rasul menolak permintaan mereka sebab mereka tidak memiliki kendaraan yang dapat membawa mereka ke sana. Maka orang-orang tadi kembali dengan mata berlinang karena merasa sedih sebab mereka tidak menemukan harta yang dapat mewujudkan keinginan mereka untuk berjihad, dan mewujudkan impian mereka untuk mendapatkan kesyahidan.
Akan tetapi setelah Al-Julas mendengarkan pembicaraan Umair, maka meluncurlah dari mulut Julas perkataan yang membuat heran Umair saat ia mendengarnya, “Jika Muhammad benar sebagaimana pengakuannya bahwa ia adalah seorang Nabi, bila demikian maka kita adalah lebih buruk dari keledai.”
Umair kaget dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia tidak pernah mendengar bahwa seseorang yang berakal dan dewasa seperti Al-Julas keluar dari mulutnya kalimat yang dapat mengeluarkan orang yang mengucapkannya dari keimanan dengan serta-merta, dan memasukkannya dalam kekafiran.
Sebagaimana alat hitung yang canggih dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang dilontarkan kepadanya, maka akal Umair bin Sa’ad segera berpikir untuk mengerjakan apa yang semestinya ia lakukan.
Ia menduga bahwa berdiam diri dari apa yang dikatakan Al-Julas lalu menutupinya adalah sebuah pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya, juga dapat mencelakai Islam sebagaimana yang sering dilakukan oleh kaum munafik.
Ia juga mengira bahwa mengumumkan kepada orang lain apa yang ia dengar dari Al-Julas merupakan kedurhakaan dirinya kepada orang yang telah menjadi seperti ayah baginya, dan membalas air susu dengan air tuba. AL-Julas lah yang telah memelihara dia yang tadinya hanyalah seorang Yatim. Ia telah mencukupkan kebutuhan dirinya dari kefakiran, dan menggantikan posisi ayahnya.
Tiada lain, bagi bocah ini haruslah memilih mana yang paling manis dari dua pilihan pahit. Sesegera mungkin Umair memilih….
Ia menatap Al-Julas sambil berkata, “Demi Allah, wahai Julas, tidak ada orang yang lebih aku cintai setelah Muhammad bin Abdullah selain engkau…. Engkau adalah orang yang aku sayangi. Engkau adalah orang yang paling mencintaiku. Namun engkau telah mengucapkan kalimat yang bila aku ceritakan kepada orang lain, maka aku sudah membuatmu sulit. Namun jika aku sembunyikan itu, berarti aku telah mengkhianati amanahku dan aku sama saja mencelakakan agama dan diriku. Aku bertekad untuk datang menghadap Rasulullah dan menceritakan apa yang telah engkau katakan. Sadarilah apa yang telah engkau lakukan.
***
Umair bin Sa’ad berangkat ke masjid dan menceritakan kepada Rasulullah apa yang telah ia dengar dari Al-Julas bin Suwaid.
Maka Rasulullah meminta Umair tinggal bersamanya dan beliau mengirim salah seorang sahabatnya untuk memanggil Al-Julas.
Tidak berselang lama, maka datanglah Al-Julas kemudian ia memberi salam kepada Rasulullah lalu duduk di hadapan beliau. Rasulullah bertanya kepada Al-Julas, “Ucapan apa yang engkau katakan dan didengar oleh Umair bin SA’ad….?!” Rasulullah menyebutkan seperti apa yang telah ia ucapkan. Lalu Al-Julas berkata, “Dia telah berbohong tentangku dan telah membuat-buatnya, wahai Rasulullah! Aku tidak pernah mengucapkan hal itu.”
Maka para sahabat memandangi Al-Julas dan Umair bin Sa’ad seolah mereka ingin melihat dari roman wajah keduanya apa yang tersimpan di dalam dada.
Lalu mereka saling berbisik. Salah seorang yang memiliki penyakit di hatinya berkata, “Ini adalah pemuda yang durhaka. Ia mau membalas kebaikan orang yang mengasuhnya dengan keburukan.”
Salah seorang lagi mengatakan, “Malah, anak ini tumbuh dalam ketaatan kepada Allah. Raut mukanya menggambarkan hal itu.”
Rasulullah memandang Umair. Beliau mendapati wajah Umair memerah, dan air mata mengalir dari bola matanya. Air mata tersebut menetes di pipi dan dadanya, dan ia berdoa, “Ya Allah, turunkanlah bukti kepada Nabi-Mu apa yang telah aku ceritakan kepadanya…. Ya Allah, turunkanlah bukti kepada Nabi-Mu apa yang telah aku ceritakan kepadanya.”
Maka berdirilah Al-Julas sambil berkata, “Apa yang aku ceritakan kepadamu adalah benar, ya Rasulullah. Jika engkau berkenan, kami akan bersumpah di hadapanmu. Aku bersumpah kepada Allah bahwa aku tidak mengatakan seperti apa yang disampaikan Umair kepadamu.”
Al-Julas tidak berhenti mengucapkan sumpahnya sehingga mata manusia tertuju kepada Umair bin Sa’ad sehingga Rasulullah terdiam. Para sahabat tahu bahwa ini pertanda turunnya wahyu. Mereka berdiri tak bergeming. Tidak satu pun yang bergerak. Mereka membeku dan pandangan mereka tertuju kepada Rasulullah SAW.
Saat itu, barulah muncul rona ketakutan dan malu di wajah Al-Julas, dan muncullah kemenangan pada Umair. Semua orang merasakan itu sehingga Rasulullah siuman lagi. Beliau lalu membaca, “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. at-Taubah: 74)
Al-Julas gemetar ketakutan usai mendengar ayat tersebut. Hampir saja lisannya terlilit karena takut. Kemudian ia menatap Rasulullah SAW dan berkata, “Aku bertaubat, ya Rasulullah…. aku bertaubat. Umair benar, ya Rasulullah, dan aku adalah orang yang telah berdusta. Pintalah Allah untuk menerima taubatku, aku siap menjadi tebusanmu, ya Rasulullah!”
Lalu Rasulullah SAW melihat ke arah Umair bin Sa’ad, rupanya air mata kebahagiaan telah membasuh wajahnya yang bersinar dengan cahaya iman.
Lalu Rasulullah menjulurkan tangannya yang mulia ke telinga Umair dan memegangnya dengan lembut sambil berkata, “Telingamu telah jujur mendengarkan, wahai anak, dan Tuhanmu telah membenarkanmu.”
***
Al-Julas kembali ke pangkuan Islam dan ia menjalankan keislamannya dengan baik. Para sahabat mengetahui perbaikan kondisinya karena ia memberikan banyak kebaikan kepada Umair.
Al-Julas berkata setiap kali diingatkan tentang Umair, “Allah akan membalasnya atas kebaikan yang ia lakukan kepadaku. Ia telah menyelamatkan aku dari kekafiran, dan membebaskan diriku dari api neraka.”
Wa ba’du…. ini bukanlah kisah yang paling menarik dalam hidup seorang pemuda yang menjadi sahabat Rasul bernama Umair bin Sa’ad.
Dalam hidupnya banyak sekali kisah yang lebih baik dan menarik.