View project
Read more
Menikah merupakan salah satu sunnah yang disyari’atkan. Seperti dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa solusi bagi insan-insan yang sedang jatuh cinta adalah jalan pernikahan. Menyatukan dua hati pada ikatan pernikahan, dimana bukan hanya berikrar tetapi juga dituntut untuk menyepakati perjanjian yang kuat (mitsaqan ghaliza) dengan Allah subhanahu wa ta’alaa.
Membahas pernikahan tentu tak akan ada habisnya, terlebih, ibadah sunnah yang satu ini sudah pasti akan ditempuh oleh setiap manusia. Namun, banyak diantaranya yang minim sekali dalam penguasaan ilmu tentang pernikahan yang sesuai dengan syari’at Islam, sehingga banyak terjadi salah kaprah dalam hal konsep yang dijalankannya. Berikut ini penjelasan dari Ustadz Soleh.
1. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang di pinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq ‘alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :
a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.
Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.
3. Walimah
Walimatul ‘urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah)
Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa”. (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa’id Al-Khudri).
Beberapa Penyelewengan yang Terjadi dalam Pernikahan yang Wajib Dihilangkan/Dihindarkan:
1. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya “Berpacaran” terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau di anggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.
Baca Juga : Amalan yang Sedikit tetapi Diberi Balasan Besar, Bagaimana Bisa?
Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari’at Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.
2. Tukar Cincin.
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zifaf, Syaikh Nashiruddin Al-AlBani)
3. Menuntut Mahar Yang Tinggi.
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.
Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. (Lihat Irwa’ul Ghalil 6, hal. 347-348).
4. Mengikuti Upacara Adat.
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maaidah : 50)
Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (Ali-Imran : 85).
5. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah.
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa’ Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa’ Wal Banin (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.
Dari Al-Hasan, bahwa ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa’ Wal Banin. ‘Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?”. ‘Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum” (Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain).
Do’a yang biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah:
“Baarakallahu laka wa baarakaa ‘alaiyka wa jama’a baiynakumaa fii khoir”
Do’a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
“Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a : (Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir) Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148).
7. Adanya Ikhtilath.
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
8. Pelanggaran Lain.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.
Wallahu a’lam bish shawab.
20 Keistimewaan Para Nabi Yang Tidak Dimiliki Manusia Biasa
Para nabi dan rasul adalah manusia-manusia terbaik pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengemban risalahnya. Mereka Allah pilih sebagai penyambung antara Allah dan para hamba-Nya di muka bumi ini. Para nabi dan rasul ini juga memiliki keistimewaan tertentu dan diantaranya tidak dimiliki oleh manusia biasa.
Yang perlu kita ingat adalah, setiap Allah memuliakan para nabi dan rasul, berarti beban syariat mereka lebih banyak atau lebih besar dari manusia biasa. Demikianlah adanya, ketika kemuliaan bertambah maka beban syariat semakin besar. Sebagai contoh, seorang laki-laki secara jenisnya lebih utama disbanding wanita, maka beban syariat untuk laki-laki lebih besar disbanding wanita. Allah berfirman,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An Nisa: 34)
Dalam ayat ini laki-laki memiliki beban syariat berupa kewajiban member nafkah bagi istrinya, sedangkan perempuan tidak dibebankan demikian. Laki-laki juga diwajibkan shalat 5 waktu secara berjamaah di masjid, sedangkan wanita tidak, berjihad, dll.
Demikian juga para nabi dan rasul, rasul lebih mulia daripada nabi, dan diantara para rasul ada ulul azmi yang lebih mulia dari rasul-rasul lainnya, maka semakin mulia, semakin bertambah beban syariat.
Diantara keistimewaan nabi dan rasul adalah:
1. Para nabi dan rasul memiliki fisik yang lebih baik dari manusia biasa. Sebagaimana Nabi Musa yang kuat, Nabi Yusuf memiliki setengah ketampanan, dan secara umum tidak ada nabi dan rasul yang cacat.
2. Allah anugerahkan mereka akhlak yang mulia. Para nabi dan rasul terjaga dari akhlak yang rendah, agar orang-orang tidak mencela mereka ketika mereka berdakwah dan menyeru kepada kebaikan saat diperintahkan berdakwah.
3. Memiliki nasab atau silsilah keturunan yang baik atau dari anak-anak keluarga yang dipandang di masyarakatnya.
4. Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang cerdas. Sebagaiman kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan ayahnya dengan cara yang santun, berdialog dengan kaumnya dan Raja Namrud dengan argumentasi yang tidak terbantahkan. Demikian juga nabi dan rasul lainnya.
5. Kesabaran mereka tidak tertandingi. Nabi Nuh berdakwah selama 950 tahun hanya dengan segelintir pengikut, yang tidak lebih dari 10 orang.
6. Para nabi menerima wahyu.
7. Terjaga dari dosa, apalagi sampai berbuat syirik. Oleh karena itu, tidak bernah apa yang dikatakan oleh orang-orang filsafat bahwasanya Nabi Ibrahim sempat mengalami fase pencarian Tuhan.
8. Saat tidur, hati mereka tetap terjaga. Berbeda dengan kita manusia biasa seperti kita, ketika tidur maka hati kita pun tertidur; tidak berdzikir dan mengingat Allah atau aktivitas hati lainnya.
9. Ketika nyawa mereka hendak dicabut, maka Allah berikan pilihan; agar tetap kekal di dunia atau berjumpa dengan Allah. Sebagaimana Nabi Muhammad yang memilih “ila rofiqul a’la”.
10. Jasad para Nabi tidak hancur di kubur-kubur mereka.
11. Ketika wafat, harta mereka tidak diwariskan akan tetapi menjadi sedekah. Oleh karena itu Abu Bakar tidak mengabulkan Fathimah radhiallahu ‘anha tentang peninggalan Nabi Muhammad. Hal ini yang sering dijadikan orang Syiah untuk mencela Abu Bakar.
12. Dimakamkan di tempat mereka wafat. Sebagaiman Nabi Muhammad yang wafat di kamar ummul mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau di kubur di kamar sang istri tercinta.
13. Para nabi dan rasul khusus dari kalangan laki-laki, tidak dari wanita.
14. Para nabi dan rasul adalah orang-orang merdeka, tidak seorang pun di antara mereka adalah budak.
15. Para nabi didoakan, oleh karena itu sering disertai nama-nama Nabi dengan shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ‘alaihissalam karena shalawat adalah diantara kekhususan para nabi.
16. Doa para nabi, doa yang mustajab.
17. Para nabi dan rasul memiliki telaga di akhirat kelak untuk umat-umat mereka. Walaupun hadis tentang ini diperselisihkan oleh para ulama, apakah selain Nabi Muhammad juga memiliki telaga. Adapun tentang telaga Nabi Muhammad para ulama sepakat tentang keshahihannya.
18. Para nabi dan rasul adalah orang yang tinggal di perkotaan, bukan dari kalangan badui atau desa.
19. Para nabi tidak mengalami mimpi “basah”, karena mimpi yang demikian adalah mimpi yang berasal dari setan.
20. Mimpi para nabi dan rasul adalah sesuatu yang akan menjadi kenyataan. Ketika para nabi dan rasul melihat sesuatu dalam mimpi mereka, maka hal itu akan terjadi. Sebagaimana mimpi Nabi Yusuf di kala kecil, melihat matahari, bulan, dan bintang bersujud kepadanya.
Sebagaimana telah tertulis di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, berkenaan dengan sebuah perintah yang tidak ada sesuatu pun bisa menggantikannya. Selagi jantung masih berdetup, nafas masih memenuhi rongga dada, setiap manusia wajib mengerjakannya. Ialah shalat, rukun kedua dalam Islam yang dengannya tiang agama didirikan.
Tiada alasan yang bisa menggugurkan kewajiban shalat, selain hanya gugur waktu pengerjaannya pada beberapa keadaan. Dengan shalat itulah iman seorang manusia dapat ditentukan. Bila baik shalatnya, maka insyaAllah akan baik pula perkara-perkara yang lainnya. Tetapi bila buruk shalatnya, sangat berkemungkinan keburukan itu melular pada aspek yang lainnya.
Maka betapa bagus shalatnya Rasulullah, para sahabat, tabi’ia dan ulama. Sungguh sangat jauh bila dibandingkan dengan kita, yang baru sebatas bergerak, berdiri, tunduk dan bersujud. Betapa orang-orang alim seperti benar bertemu dengan Rabbnya di setiap shalatnya. Betapa pemaknaan shalat sungguh merasuk ke jiwanya, tersebab ketika diangkatnya tangan pada takbiratul ihram, saat itu pula dimulainya pertemuan dengan Sang Maha Mulia.
Maka sungguh merugilah orang-orang yang tidak mendapatkan apa-apa dari shalat yang dikerjakannya. Termasuk ganjaran pahala yang sejatinya melekat pada setiap pengerjannya. Penting untuk diketahui oleh kita semua, bahwa ada segolongan manusia yang menjadi sia-sia shalatnya. Ibadahnya hanya menggugurkan kewajibannya, tetapi sama sekali tidak mendapat nilai di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di antara orang-orang yang sia-sia shalatnya itu ialah para peminum khamar.
Sebagaimana sebuah hadist yang disampaikan oleh Ibnu Umar dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Orang yang meminum khamar, tidak diterima shalatnya selama 40 hari. Siapa yang bertaubat, maka Allah memberi taubat untuknya. Namun bila kembali, hak Allah untuk memberinya minum dari sungai Khabal.” Seseorang bertanya, “Apakah sungai Khabal itu?” Beliau menjawab, “Nanahnya penduduk neraka.”
Khamar ialah minuman beralkohol. Artinya segala bentuk minuman yang mengandung alkohol termasuk ke dalam jenis khamar. Meski kadarnya tidak sampai memabukkan, ianya tetap diharamkan menurut syariat agama Islam.
Pada hadist di atas jelas tertuang sebuah ancaman, bahwa Allah tidak akan menerima shalatnya orang-orang yang masuk ke dalam tubuhnya khamar selama 40 hari. Maka jika bertaubat ia, dengan ke-Maha Pengasih dan Penyayang-Nya, Allah akan menerima pemohonannya. Tetapi bila ia kembali untuk mengerjakannya lagi, betapa siksa sebentuk Khabal siap menantinya.
Sebagian besar ulama berpendapat, kalimat “tidak diterimanya shalat” mengandung makna yang jauh lebih luas dari itu. Bahwa shalat hanya sebagai sebuah kedudukan bila ia merupakan ibadah yang utama. Sebagaimana penjelasan Al-Mubarakfuri, “Penyebutan shalat secara khusus (pada hadits di atas) adalah karena shalat merupakan ibadah fisik yang paling utama. Jika ia tidak diterima, maka ibadah-ibadah yang lain lebih tidak diterima.”
Maka orang yang memasukkan khamar ke dalam tubuhnya berkemungkinan untuk bukan hanya shalatnya saja yang tidak diterima, tetapi juga pada seluruh amal ibadahnya. Sungguh berapa meruginya, hanya tersebab seteguk minuman haram, hancurlah seluruh nilai amalan kita di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila tidak diterima selama 40 hari, lantas untuk apa mengerjakannya? Menurut para ulama, makna “tidak diterima” ialah “tidak mendapat pahala.” Sehingga bila si peminum khamar mengerjakan shalat, maka yang didapatnya hanya gugurnya kewajiban saja. Allah tidak akan memberikan kepadanya nilai pahala dari apa yang dikerjakannya. Sebagaimana Imam an-Nawawi menjelaskan, “Makna dari ‘shalatnya tidak diterima’ adalah bahwa shalatnya tidak mendapat pahala meskipun kewajibannya telah gugur…”
Karenanya shalat tetap wajib dilaksanakan untuk menghindari hukuman yang jauh lebih berat lagi. Betapa Allah masih meringankan dengan hanya tak bernilai, sehingga bagi peminum khamar masih berkesempatan untuk tetap mengerjakan sebagai bentuk dari keseriusan memperbaiki diri. Namun bila kembali khamar masuk ke dalam tubuhnya, sungguh hanya Allah yang berhak menentukan sebentuk siksanya kelak di neraka.
Sebagai seorang muslim, sudah seharusnya kita mengisi setiap waktu yang dmiliki untuk senantiasa berdzikir kepada Allah Ta’alaa. Selain akan mendapatkan pahala,juga akan mendapatkan keuntungan lainnya seperti ketenangan hati dan pikiran.
Berbiicara soal dzikir, ada sebuah dzikir yang disyari’atkan yaitu dzikir pagi dan petang. Namun, bagi orang yang kemudia tidak sempat melakukannya, bolehkah meng-qadha dzikir pagi dan petang? Lalu, bagaiamana hukumnya? Berikut ini penjelasan dari Ustadz Soleh.
Allah ta’ala berfirman:
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ) قّ: من الآية39)
“Dan bertasbihlah sambil memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” (Qs. 50:39)
Berdasarkan ayat di atas Ibnul Qayyim telah merajihkan bahwasanya waktu membaca dzikir pagi adalah setelah subuh sampai terbit matahari dan waktu membaca dzikir petang adalah habis shalat ashar sampai tenggelam matahari.
Beliau berkata:
في ذكر طرفي النهار وهما ما بين الصبح وطلوع الشمس وما بين العصر والغروب
“Dzikir di kedua ujung hari, dan keduanya adalah antara subuh sampai terbit matahari dan antara ashar sampai tenggelam matahari” (Lihat Al-Wabil Ash-Shayyib 239-240, Dar ‘Alamil Fawaid)
Berkata Syeikh Bakr Abu Zaid:
بين الله سبحانه في القرآن الكريم طرفي النهار محل أذكار الصباح والمساء في آيات منها: ) وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ)(قّ: من الآية39)، فمحل ورد الصباح في الإبكار وهو الغدو بعد صلاة الصبح وقبل طلوع الشمس، ومحل ورد المساء في العشي وهو الآصال بعد صلاة العصر قبل الغروب، والأمر فيهما واسع كمن عرض له شغل، والحمد لله.
“Allah subhanahu telah menjelaskan di dalam Al-Quran Al-Karim bahwa kedua ujung siang adalah waktu dzikir pagi dan petang dalam beberapa ayat, diantaranya firman Allah yang artinya: Dan bertasbihlah sambil memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya).” (Qs. 50:39).
Maka waktu dzikir pagi adalah ketika Ibkar dan Ghuduw yaitu setelah shalat subuh dan sebelum terbit matahari, dan waktu dzikir petang adalah ketika ‘Asyiyy dan Al-Aashal yaitu setelah shalat ashar sebelum tenggelam matahari. Dan perkaranya luas, seperti orang yang memiliki kesibukan, walhamdulilllah” (Tashhihud Du’a’ hal:337)
Yang ana pahami dari perkataan beliau boleh bagi kita mengqadha dzikir tersebut apabila kita tersibukkan dengan sesuatu atau ketiduran.
Berkata An-Nawawy ketika mensyarh hadist:
وكان إذا غلبه نوم أو وجع عن قيام الليل صلى من النهار ثنتي عشرة ركعة
“Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila ketiduran atau sakit sehingga tidak bisa shalat malam, beliau shalat di siang hari 12 rakaat.” (HR.Muslim)
Beliau berkata:
هذا دليل على استحباب المحافظة على الأوراد وأنها إذا فاتت تقضي
“Ini dalil dianjurkannya menjaga dzikir-dzikir dan bahwasanya kalau dia luput maka diqadha” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawy 6/27)
Wallahu a’lam bish shawab.
Di dalam diri manusia terdapat fitrah perasaan yang sungguh tidak dapat dihindari oleh setiap insan. Allah Ar-Rahman Ar-Rahiim tak sekedar menyematkan fitrah tersebut kedalam hati masing-masing manusia, namun juga telah mempersiapkan tujuan akhir dari perasaan tersebut yaitu pasangan hidup.
Pasangan hidup telah dipersiapkan oleh Allah bagi masing-masing manusia, namun dalam membersamainya tentu diperlukan ikhtiar. Jika saat ini banyak yang mengatakan dengan istilah umum “cari jodoh” atau yang harusnya lebih tepat “jemput jodoh”, maka langkah awal yang harusnya dilakukan yaitu ta’aruf yang dilanjutkan dengan khitbah (lamaran). Lalu bagaimana hukum menerima lamaran nikah dua kali? Dilarang atau diperbolehkan? Yuk simak ulasannya.
Menolak Lamaran Pertama dan Menerima Lamaran Kedua
Ketika suatu keputusan sudah bulat dan tekad sudah mantap, lewat musyawarah keluarga maupun petunjuk atas istikharah, tak ubahnya seseorang haruslah tetap memilih diantara beberapa pilihan, termasuk dalam hal pasangan hidup. Menurut pendapat yang telah disetujui oleh para ulama fiqih bahwasanya seorang perempuan yang telah menolak lamaran pertama seorang laki-laki, maka perempuan tersebut diperkenankan untuk menerima lamaran kedua jika terdapat laki-laki lainnya yang melamar. Sebagaimana Ibnu Qudamah berkata:
“ Siapa yang telah melamar perempuan namun ditolak, maka kesempatan bagi laki-laki lain untuk melamar perempuan itu.” (Al Mughni, 7/520)
Menggantungkan Lamaran Pertama dan Menerima Lamaran Kedua
Ketika suatu kondisi seorang perempuan belum yakin tentang keputusan menerima lamaran kadangkala lamaran tersebut masih digantungkan, entah karena masih ragu dengan yang melamar atau menunggu ada pihak lain yang melamar. Terdapat beberapa pendapat mengenai hukum seseorang menggantungkan lamaran pertama namun menerima lamaran dari pihak kedua.
Pendapat Pertama, berdasarkan Jumhur Ulama Mazhab Maliki, Hanafi, dan pengrajin yang rajah dalam Mazhab Syafi’I dan Hambali, bahwasanya ketika seorang perempuan belum memberi kepastian terhadap pihak yang melamar pertama kali, maka pihak kedua diperbolehkan melamar perempuan tersebut. (Al-Mudawwamah, 2/494, Al Mukhtar, 2/262, Al-Umm, 5/272, Al Mughni, 7/520)
Pendapat Kedua, berdasarkan pendapat Mazhab Zahiri yaitu ketika perempuan belum memberi kepastian jawabag kepada pihak pelamar pertama (jawaban menerima atau menolak), maka haram hukumya bagi pihak kedua mengajukan lamaran, yaitu sampai perempuan tersebut memberikan kepastian kepada pelamar pertama. (Al-Muhalla, 9/165). Menurut pendapat mazhab ini, hukum haram tersebut bersifat mutlak dan umum, sehingga jika terjadi hal tersebut maka lamaran tersebut rusak dan batal dengan sendiirinya. (Al- Muhalla, 10/33). Hal ini dilandasi pendapat bahwa jika kondisi tersebut terjadi maka dapat merugikan atau menyakiti pihak pertama.
Menerima Lamaran Pertama dan Menerima Lamaran Kedua
Berdasarkan pendapat para ulama fiqih jika dalam suatu kondisi, perempuan sudah menerima lamaran pihak pertama, maka haram hukumnya menerima lamaran pihak kedua, kecuali jika pihak pertama mengizinkan lamaran pihak kedua. Seperti yang terdapat dalam hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya”
“Janganlah seseorang menjual barang yang telah dijual kepada saudaranya dan janganlah melamar perempuan yang telah dilamar saudaranya, kecuali jika mendapatkan izin darinya.” (HR. Muslim No. 2787)
Dalam hadits lainnya yaitu hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.” (HR. Muslim, No. 2519)
Serta dalam hadits riwayat Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan, bahwasanya:
“Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya meninggalkannya, atau ia telah diizinkan peminang sebelumnya.” (HR. Bukhari, No: 4746).
Dari hadits tersebut terdapat perbedaan pendapat diantara ulama, yaitu ada yang berpendapat bahwa larangan tersebut berarti haram namun juga ada sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa larangan tersebut berarti makruh.
Dari uraian tersebut sudah menggambarkan bahwasanya dalam urusan perasaan bukanlah suatu permainan namun merupakan sesuatu yang mutlak harus diberi kepastian. Karena tujuan akhir adalah pernihakan yang mana bernilai ibadah sehingga proses mengawalinya tentu harus sesuai dengan kaidah Islam, untuk memperoleh kebagiaan hakiki, pasangan sehidup sesurga hingga nanti.
Wallahu ’Alam Bisshawab
Allah Ta’ala berfirman,
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidaklah dapat menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS. Ibrahim [14]: 34)
Dalam salah satu ayat Al-Quran tersebut menjelaskan tentang salah satu sifat tercela manusia yang harus kita hindari. Sifat tersebut antara lain sifat zalim yakni sifat tercela yang sebenarnya mengetahui kebenaran Allah, namun ia mengingkarinya. Sifat tercela yang kedua yakni lupa mensyukuri nikmat dari Allah Subhanallahu wa Ta’alla.
Kedua sifat tercela ini terkadang tidak kita sadari terucap oleh lisan dengan mudah dan spontannya. Sehingga menyebabkan diri kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tercela dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita mempelajari dan memahami agar tidak lsgi terjerumus ke dalam murka Allah Subhanallahu wa Ta’alla.
Contoh dalam sebuah peristiwa yang penting atau sangat mendesak, dan atau dalam keadaan berbahaya menurut kaca mata manusia yang menimpa diri kita. Kemudian ada seorang manusia membantu kita, lantas secara spontan kita akan berterima kasih dan memujinya dengan contoh berkata, “Untung ada kamu, kalau tidak aku tidak tahu apa yang akan terjadi,” kalimat tersebut ringan dan secara spontan mungkin pernah kita katakan. Padahal sejatinya kata-kata itu melemparkan kita kepada bersyukur kepada selain Allah. Allah Ta’ala berfirman,
يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ
“Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (QS. An-Nahl [16]: 83)
Dalam sebuah riwayat yang sejalan dengan kasus tadi, ‘Aun bin Abdillah bin ‘Utbah berkata,”(Yaitu) perkataan seseorang,’ Kalaulah bukan karena fulan, tentu tidak akan begini dan begitu’. Atau,’Kalaulah bukan karena fulan, tentu tidak akan menimpamu yang demikian dan demikian.”
Adapun larangan bersyukur kepada selain Allah dikaitkan pada larangan menyekutukan Allah,
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 22)
Menyekutukan Allah merupakan perbuatan syirik yang dosanya terlampau besar. Oleh karena itu, untuk menjauhkan diri dari dosa tersebut mari kita simak hadits berikut. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
الأنداد هو الشرك، أخفى من دبيب النمل على صَفَاة سوداء في ظلمة الليل، وهو أن يقول: والله وحياتك يا فلان، وحياتي، ويقول: لولا كلبة هذا لأتانا اللصوص، ولولا البطّ في الدار لأتى اللصوص، وقول الرجل لصاحبه: ما شاء الله وشئتَ، وقول الرجل: لولا الله وفلان. لا تجعل فيها “فلان”. هذا كله به شرك.
“(Menjadikan) ‘andaad’ [sekutu-sekutu] adalah berbuat syirik, (dosa) yang lebih samar daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam dalam kegelapan malam. Contohnya adalah perkataan,’Demi Allah dan demi hidupmu, wahai Fulan! Dan demi hidupku.’ Atau ucapan,’Kalau bukan karena anjing ini, tentu kita akan didatangi pencuri-pencuri itu.’ Atau,’Kalau bukan karena angsa di rumah ini, tentu datanglah pencuri-pencuri itu.’ Atau perkataan seseorang kepada temannya,’ Atas kehendak Allah dan kehendakmu.’ Atau perkataan seseorang,’ Kalaulah bukan karena Allah dan fulan.’ Janganlah Engkau sebutkan di dalamnya, ’Fulan’. Semua ini adalah perbuatan syirik terhadap Allah.”
Hadits tersebut menjelaskan betapa sukarnya kita untuk mengetahui dosa syirik tersebut. Oleh karena itu sebagaimana rasa takut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sifat syirik, kitapun pasti lebih-lebih lagi rasa takut terhadap dosa tersebut. Mari kita amalkan do’a Rasulullah kepada Allah Ta’ala agar terhindar dari dosa tersebut,
اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم وأستغفرك لما لا أعلم
”Ya Allah, aku berlindung dari berbuat syirik sementara aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu dari dosa yang tidak aku sadari.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Wallahu A’lam Bisshowab
Dalil 1: judi digandengkan dengan khamr, berkurban untuk berhala dan mengundi nasib
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maidah: 90).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala menggandengkan judi atau qimar dengan khamr, al anshab dan al azlam. Ini adalah perkara-perkara yang tidak diragukan lagi keharamannya. Oleh karena itu ini menjadi dalil haramnya judi.
Al khamru (khamr) sudah kita ketahui bersama, ia adalah minuman yang jika diminum oleh seseorang maka akan membuatnya mabuk, lalu hilang akalnya, seluruhnya ataupun sebagiannya. Sehingga ia berbicara dan beraktifitas tanpa berpikir dan tanpa akal. Terkadang membuatnya jatuh kepada zina, terkadang kepada pembunuhan, kadang kepada pembakaran, terkadang menceraikan istrinya, dan semisal itu. Oleh karena itu syariat pun mengharamkannya.
Adapun al anshab (berkurban untuk berhala), itu haram melakukannya. Karena ia adalah sarana untuk beribadah kepada berhala.
Sesuatu yang digandengkan dengan al anshab, khamr, dan al azlam, tidak ragu lagi ia haram hukumnya dan besar dosanya.
Dalil 2: judi disebut dengan rijs (najis)
Ar rijs artinya najis. Adapun ar rujz artinya dosa, dan semua yang mengandung bahaya. Allah terkadang menyebut berhala dengan rijs, seperti dalam firman-Nya:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ
“maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu” (QS. Al Hajj: 30).
Dan terkadang Allah menyebutnya dengan rujz.
وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ
“dan perbuatan dosa tinggalkanlah” (QS. Al Mudatsir: 5).
Ar rujz, dengan huruf ra’ di-dhammah, atau bisa juga ar rijz jika mengikuti riwayat qiraah yang huruf ra’ nya di kasrah.
Dalil 3: judi adalah amalan setan
Allah Ta’ala menjelaskan bahwa judi adalah amalan setan dalam firmannya (yang artinya) : “…(judi) adalah termasuk perbuatan syaitan“. Dan semua amalan yang merupakan amalan setan, hukumnya haram. Karena setan itu sangat bersemangat untuk menyesatkan manusia dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan.
Maka jika ada sudah mengetahui bahwa judi adalah amalan setan, maka ketahuilah bahwa setan itu tidaklah mendatangimu kecuali untuk mengelabuimu dan menipumu, serta membuat permusuhan antara engkau dan saudaramu. Maka setan adalah musuh manusia. Allah Ta’ala telah memperingatkan manusia dari musuh ini dengan peringatan yang keras. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (QS. Fathir: 6).
Dan Allah juga mengabarkan kepada kita bahwa setan telah memperdaya Nabi Adam dan Hawa sehingga mereka dikeluarkan dari surga. Dan setan bersumpah kepada Adam dan Hawa bahwa ia adalah pemberi nasehat, padahal ia pendusta. Allah Ta’ala berfirman:
وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ
“(setan) bersumpah kepada keduanya: ‘saya adalah pemberi nasehat kepada kalian berdua‘” (QS. Al A’raf: 21).
Allah memberi kita peringatan terhadap musuh besar kita ini dalam firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga” (QS. Al A’raf: 27).
Maka setan ini adalah musuh manusia, dan ia sangat bersemangat untuk menyesatkan manusia. Khamr, judi, al anshab, dan al azlam adalah amalan setan, maksudnya amalan inilah yang dibawa oleh setan. Dan amalan-amalan inilah yang dibisikan oleh setan kepada para hamba, dan setan menghias-hiasanya sehingga manusia terbujuk melakukannya dan terjerumus ke dalamnya.
Jika anda sudah mengetahui suatu perkara itu adalah amalan setan, maka wajib bagi anda untuk menjauhinya dan meninggalkannya hingga anda selamat. Karena setan itu tidak menginginkan dari anda kecuali kebinasaan dan kesesatan bagi anda. Dan setan itu senantiasa bercokol di hati manusia, membisikkan dada manusia. Allah telah menurunkan sebuah surat, yang ia merupakan surat yang urutannya terakhir. Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
“Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia” (QS. An Naas: 1-6).
Bisikan kejahatan ke dalam dada di sini maksudnya adalah setan. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk meminta perlindungan kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia dari kejahatan setan ini. Yang masuk ke dalam dada dan membisikan keburukan ke dalamnya. Ia juga mengajak kepada keburukan, menghias-hiasi keburukan seolah-olah nampak baik, menumbuhkan ide-ide dalam pikiran manusia dan menggiring mereka untuk mewujudkannya.
Namun Allah Ta’ala telah menyiapkan perisai dan tameng dari keburukan setan bagi hizbullah dan para wali Allah. Dan Allah juga telah memilih hamba-hamba-Nya yang Ia selamatkan dan amankan dari keburukan setan. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِبَادِي لَيْسَ لَكَ عَلَيْهِمْ سُلْطَانٌ إِلَّا مَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْغَاوِينَ
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang yang mengikut kamu, yaitu orang-orang yang sesat” (QS. ِAl Hijr: 42).
Maka hamba-hamba Allah yang terpilihlah yang selamat dari keburukan setan dan setan tidak mampu menggodanya. Setan sendiri telah mengecualikan mereka, setan berkata:
إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
“kecuali para hamba-Mu yang ikhlas” (QS. Al Hijr: 40).
Jika anda telah memahami permusuhan kita terhadap setan ini, kita akan mengetahui betapa setan sangat berambisi untuk menggunakan berbagai macam tipu daya dan sarana untuk menyesatkan manusia. Bahkan Allah menyebutkan hal ini:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ
“dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya” (QS. An Nisa: 119).
Dan firman Allah Ta’ala:
لَأَحْتَنِكَنَّ ذُرِّيَّتَهُ إِلَّا قَلِيلًا
“niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil” (QS. Al Isra: 62).
Maksudnya anak cucu Adam, kecuali sedikit saja. Maka Allah pun memberikan kita waktu tenggang. Ia berfirman:
إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ
“Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh” (QS. Al A’raf: 15)
Maksudnya diberi waktu tunda.
Allah juga berfirman:
اذْهَبْ فَمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ فَإِنَّ جَهَنَّمَ جَزَاؤُكُمْ جَزَاءً مَوْفُورًا وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ
“Pergilah, barangsiapa di antara mereka yang mengikuti kamu, maka sesungguhnya neraka Jahannam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup. Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki” (QS. Al Isra: 63-64).
Artinya: “tipulah manusia dengan segala tipu daya, jerumuskan mereka dengan segala cara, goda mereka dengan segala sarana yang mungkin”. Maka setan itu sangat bersemangat untuk menyesatkan manusia dan ia akan mengerahkan segala daya upaya untuk menyesatkan setiap manusia. Dan makhluk ini memiliki kemampuan, memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi manusia. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam telah mengabarkan bahwa setan mengalir bersama aliran darah manusia. Artinya, ia berjalan dalam diri manusia hingga ke setiap anggota badannya hingga mengalir dalam jasadnya, sebagaimana mengalirnya darah dalam tubuh manusia. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda bahwa setan mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana mengalirnya darah, dan ia memberikan was-was dalam hatinya sedangkan manusia tersebut tidak melihatnya. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
“Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka” (QS. Al A’raf: 27).
Yang dimaksud, makhluk yang sejenis jin dan semisalnya yang kamu tidak bisa melihat mereka. Namun Allah telah menjadikan perkara-perkara yang menjadi perlindungan bagi kita. Misalnya ketaatan, ia adalah perlindungan dari setan. Dzikrullah juga perlindungan dari setan, menyempurnakan ibadah, membaca dan mentadabburi Al Qur’an, dzikir rutin, membaca tasbih dan semisalnya semua ini juga perlindungan dari setan. Inilah beberapa pelindungan yang menghalangi kita dari setan, ketika anda melakukannya dengan ikhlas dan tulus, itu dapat melindungi anda dan bermanfaat bagi anda dengan izin Allah.
Kesimpulannya, perkara-perkara ini yaitu khamr, judi, al anshab, al azlam, telah Allah haramkan dengan sebab ia adalah amalan setan. Yaitu perkara-perkara ini adalah perkara yang dilakukan setan dan didakwahkan oleh setan untuk melakukannya. Setanlah yang mengajak membangun berhala-berhala hingga mereka disembah. Setanlah yang mengajak manusia untuk minum khamr. Setanlah yang mengajak manusia untuk berjudi. Setanlah yang mengajak manusia untuk mengundi nasib dengan anak panah. Dengan demikian perkara-perkara ini adalah amalan setan.
Jika anda telah mengetahui hal tersebut, maka jauhilah hingga anda selamat dari was-was setan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan“.
Dalil 4: Allah memerintahkan untuk menjauhi judi
Allah Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi empat hal ini yaitu khamr, judi, al anshab dan al azlam. Dan al ijtinab itu lebih mendalam dari pada at tark. Karena al ijtinab itu artinya: jauhkan diri darinya, ini lebih mendalam dari pada mengatakan: tinggalkan ia. At tark tidak melazimkan penjauhan diri, sedangkan al ijtinab itu maknanya lebih dalam, karena artinya: tinggalkan dan jauhilah, pergilah ke arah yang jauh darinya. Dan judi termasuk dalam empat hal ini.
Maka menjauh dari judi itu lebih selamat, sedangkan mendekat kepada perjudian itu biasanya menjadi sebab atau sarana terjerumusnya seseorang ke dalamnya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kita untuk tajannub, yaitu menjauhinya. Maka janganlah kita mendekati tukang judi dan jangan berteman dengannya, jangan membersamainya, jangan bermuamalah dengannya, jangan mencintainya, jangan duduk bersama dengannya, serta jangan kasihan padanya. Bahkan seharusnya anda menjauh sejauh-jauhnya sehingga kehormatanmu, agamamu, akidahmu selamat. Karena kondisi agamamu berada dalam kekhawatiran jika anda mendekat dengan hal-hal tersebut, atau jika anda duduk bersama dengan tukang judim atau tukang minum khamr, dan semacamnya. Dan yang semisal mereka, dikhawatirkan akan mengotori kehormatanmu dan agamamu. Atau bisa jadi anda terjerumus ke dalamnya walaupun sedikit, atau engkau menyukai sesuatu dari hal-hal tersebut, atau semisalnya. Inilah sebabnya mengapa Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menjauhinya dalam firman-Nya (yang artinya) : ‘‘Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu..“.
Dalil 5: didapatkannya keberuntungan dengan menjauhi judi
Dalam firman Allah Ta’ala disebutkan: “semoga engkau beruntung“. Al falah artinya kemenangan, keberhasilan, kebahagiaan di dunia dan akhirat, mendapatkan apa yang diinginkan, meraih apa yang diminta. Inilah al falah. Maka muflih adalah orang yang mendapatkan apa yang ia minta.
Namun kapan anda mendapatkan al falah? Jawabnya yaitu ketika anda menjauhi empat perkara ini yang diantaranya: judi. Jika anda menjauhinya, menghindarinya, dan membenci pelakunya, maka anda termasuk muflihin, artinya semoga anda termasuk orang yang mendapatkan al falah. Sebab inilah yang dikaitkan oleh Allah Ta’ala dengan sifat al falah, yaitu menjauhi empat perkara tersebut, termasuk judi. Maka al falah bisa didapatkan dengan menjauhi judi, dan kebinasaan bisa menghampiri dengan mendekati judi, dan kehancuran akan terjadi jika melakukannya, kesesatan akan datang jika terus-menerus melakukannya. Maka tidak ragu lagi akan haramnya judi.
Dalil 6: judi menimbulkan permusuhan di antara manusia
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu (lantaran meminum khamar dan berjudi itu)” (QS. Al Maidah: 91)
Maksudnya, setan bersemangat untuk menimbulkan permusuhan di antara manusia. Dan al ‘adawah artinya: muqatha’ah (pemutusan), yakni antara sesama saudara seiman saling memutus hubungan. Atau antara dua sahabat saling memutus hubungan, atau saling membenci, atau saling memboikot. Maka persaudaraan pun putus, mereka saling memutus hubungan satu sama lain, saling menjauhi, saling mencela, dan mudah untuk meng-ghibah-i dan mencederai kehormatan saudaranya, menuduhnya dengan hal yang buruk. Semua ini terjadi karena sebab khamr dan judi. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu (lantaran meminum khamar dan berjudi itu)“.
Dalil 7: judi menimbulkan kebencian di antara manusia
Al bughdhu adalah kebencian dan kemurkaan seseorang kepada orang lain serta ketidak-sukaan terhadap apa yang diperbuatnya. Jika timbul al bughdhu maka ujungnya adalah keterputusan hubungan dan pemboikotan serta saling menjauh yang menyebabkan perpecahan antara kaum Muslimin. Di sini kami akan berikan beberapa contoh kebencian yang terjadi akibat perjudian. Diantaranya, permainan yang dimainkan orang-orang lalu mereka membuat taruhan dari permainan tersebut. Yang menang akan mendapatkan uang yang dipertaruhkan. Jika taruhan yang dipasang itu jumlahnya besar, terkadang membuat pemain yang kalah menjadi tidak memiliki harta lagi, ia kekurangan dalam memenuhi kebutuhannya, bahkan sampai harus berhutang, dan menghalanginya untuk mendapatkan harta dari berbagai sisi (sehingga yang kalah ini akan benci kepada yang menang, red.).
Terkadang juga, pemain judi itu jengkel terhadap permainannya, ia memainkan permainan setan ini hingga kelelahan dan memaksakan diri, sehingga akhirnya ia mengambil harta tanpa hak. Ini sudah pasti akan menimbulkan kebencian dari pihak yang dipaksa untuk diambil hartanya dan lalu si penjudi pun akan membencinya. Jika demikian lalu akan timbul permusuhan antara keduanya, bahkan terkadang hingga terjadi pembunuhan. Permusuhan dan pembunuhan ini terjadi sebagai imbas dari adanya pemutusan hubungan dan pemboikotan serta saling membenci yang lalu menimbulkan perpecahan di tengah kaum Muslimin. Lalu tercerai-berailah urusan mereka. Ini akan menyebabkan semakin kuatnya musuh Islam dan dikuasainya harta kaum Muslimin oleh musuh Islam, serta dikuasainya negeri-negeri Islam. Ini semua diawali oleh khamr dan judi.
Allah Ta’ala telah memerintahkan kaum Muslimin untuk saling bersaudara dan saling mencintai, serta menghilangkan percekcokan dan kebencian yang ada di antara mereka. Allah juga memerintahkan kaum Muslimin untuk saling mengikat persaudaraan karena Allah telah menamai mereka semua sebagai Muslimin dan memberi mereka nikmat berupa persaudaraan karena agama. Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
“dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya” (QS. Al Imran: 103).
Allah Ta’ala memberikan nikmat kepada mereka dengan mempersatukan mereka setelah sebelumnya mereka berpecah-belah. Dan juga nikmat berupa persaudaraan setelah sebelumnya mereka saling memutus hubungan. Dan berupa saling mencintai di antara mereka setelah sebelumnya mereka saling bermusuhan. Dan juga berupa saling terikatnya hati mereka, yang ini tidak ada yang mampu kecuali Allah yang Maha Mengetahui perkara gaib. Allah Ta’ala berfirman:
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka” (QS. Al Anfal: 63).
Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa wajib bagi kita untuk saling bersatu, dan dibencinya saling bermusuhan dan saling memutus hubungan. Wajib bagi kaum Muslimin untuk bersatu dan saling membantu. Dan Allah Ta’ala juga telah memerintahkan hal ini dalam firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong menolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah: 2).
Dan Allah Ta’ala juga memerintahkan ketika terjadi peperangan antara dua pasukan kaum Muslimin, hendaknya kita mengusahakan perdamaian antara mereka hingga mereka bersatu. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al Hujurat: 9).
Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mendamaikan kaum Muslimin, dan Allah telah menamai mereka sebagai saudara bagi kita, walaupun mereka saling memerangi. Dan Allah juga memerintahkan kaum Muslimin agar saling berjabat tangan karena mereka semua bersaudara. Namun perkara ini, yaitu perjudian, menghilangkan rasa persaudaraan itu. Ia dapat menimbulkan permusuhan, kebencian, saling memboikot, dan saling menjauh, padahal hal-hal ini dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam.
Jika kita sudah mengetahui hal ini, dan kita juga sudah mengetahui bahayanya, wajib bagi kita untuk menjauhinya.
Dalil 8: judi itu memalingkan orang dari dzikrullah
Berpalingnya orang dari dzikrullah, ini adalah dalil lain yang menunjukkan keharaman khamr dan judi. Yaitu dalam firman Allah Ta’ala :
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ
“..dan menghalangi kamu dari mengingat Allah..” (QS. Al Maidah: 91).
Maka permainan setan ini mengandung mafsadah yang besar, yaitu ia memalingkan orang dari dzikrullah. Dan ini sudah terbukti di lapangan, orang yang memainkan permainan judi, bahkan walaupun tidak menggunakan taruhan, ia akan tersibukan dengannya dan menghabiskan waktu yang banyak serta sangat menikmati permainan tersebut. Mereka mengklaim hal itu untuk menyegarkan jiwa dan menyenangkan jiwa mereka. Mereka pun membuang-buang waktu padahal waktu dalam permainan ini. Maka dengan ini mereka berpaling dari dzikrullah dan menyibukkan diri dengan kelalaian dan permainan, hingga mereka lupa kepada Allah.
نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
“Mereka melupakan Allah, maka Allah pun melupakan mereka” (QS. At Taubah: 67).
Kami katakan kepada mereka, yang lebih utama bagi kalian, daripada waktu kalian digunakan secara sia-sia, lebih baik digunakan untuk menyibukkan diri dengan dzikrullah. Kalian berdzikir kepada Allah, kalian bertadabbur, dan banyak perkara yang bisa kalian lakukan. Kalian bisa gunakan waktu kalian untuk hal-hal yang bermanfaat. Adapun permainan-permainan ini, tidak ada manfaatnya di dunia dan di akhirat. Ia hanya memalingkan kalian dari dzikrullah, dari berdoa kepada Allah, dari ibadah kepada-Nya, dan membuat kalian lalai dan keras hati.
Dalil 9: judi melalaikan orang dari shalat
Judi melalaikan orang dari shalat, ini suatu hal yang sudah terbukti. Orang yang menghabiskan waktu mereka dengan permainan judi secara umum adalah orang-orang yang melalaikan shalat. Dan mereka juga lalai dari ibadah-ibadah yang lain. Jika mereka melakukan ibadah pun biasanya disertai lupa dan was-was. Dan mereka juga sering begadang sepanjang malam sehingga tertidur ketika waktu shalat subuh, dan juga mengerjakan shalat-shalat yang lain. Atau minimalnya mereka tidak melaksanakan shalat secara berjama’ah. Apakah ini tidak cukup untuk menunjukkan keharaman judi?
Dalil 10: adanya perintah Allah untuk berhenti dari judi
Allah Ta’ala berfirman:
فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ
“lalu mengapa kalian tidak berhenti?” (QS. Al Maidah: 91).
Ini adalah dalil yang jelas yang menunjukkan keharaman judi. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berhenti dari perjudian. Al intiha (berhenti) maknanya mencakup meninggalkan sekaligus bertaubat darinya. Oleh karena itu, ketika ayat ini turun, para sahabat pun berkata:
انتهينا .. انتهينا
“sekarang juga kami berhenti.. kami berhenti..!”
Maksudnya: kami telah berhenti dari minum khamr dan bermain judi serta perbuatan haram lainnya. Maka firman Allah (yang artinya): “lalu mengapa kalian tidak berhenti?” adalah gaya bahasa tanya yang bukan bermaksud bertanya namun menyuruh. Maka maknanya: “berhentilah!“, artinya: sampai kapan kalian tidak berhenti melakukannya? sampai kapan kalian terus-menerus melakukannya? tidakkah tiba bagi kalian waktunya untuk berhenti? tidakkah kalian merasakan kerusakannya? mengapa kalian tidak berhenti? Maka para sahabat pun menjawab: “sekarang juga kami berhenti..!”
Inilah sepuluh dalil dari ayat yang mulia, yang menunjukkan keharaman judi. Wallahu a’lam.
Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha.
Nasabnya
Ia adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah radhiallahu ‘anha. Ada pula yang mengatakan nasabnya adalah Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah bin Syam’un bin Zaid dari Bani Nadhir (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131). Ada juga yang menyebutnya berasal dari Bani Quraizhah (Mahdi Rizqullah: Terj. Sirah Nabawiyah. Cet. Perisai Alquran Hal: 844). Dan pendapat yang paling banyak, menyatakan bahwa ia berasal dari Bani Quraizhah.
Memeluk Islam
Awalnya, Raihanah adalah istri dari seorang laki-laki Bani Quraizhah yang dikenal dengan al-Hakam. Suaminya sangat mencintainya. Memuliakan dan berbuat baik padanya. Raihanah pun seorang wanita cantik yang memiliki kedudukan terhormat di tengah kaumnya. Ia cerdas dan pandai menganalisa permasalahan.
Saat orang-orang Yahudi Bani Quraizhah mengkhinati perjanjian antara mereka dengan kaum muslimin, Rasulullah dan para sahabat menyerang mereka. Mereka berhasil dikalahkan sehingga kaum wanita mereka menjadi tawanan. Raihanah menjadi tawanan Rasulullah.
Mulanya Raihanah menolak memeluk Islam. Ia masih fanatik dengan agama Yahudinya. Keadaan ini membuat Rasulullah tidak nyaman. Saat Nabi tengah bersama sahabat-sahabatnya, ia mendengar derap langkah mendekatinya, ternyata Tsa’labah bin Sa’yah mengabarkan tentang keislaman Raihanah. Rasulullah bergembira dan memberi kegembiraan padanya untuk membebaskannya, menikahinya, dan mengenakan hijab untuknya. Namun Raihanah berkata, “Wahai Rasulullah, biar saja aku tetap dalam kekuasaanmu (budakmu). Itu lebih ringan bagiku dan juga untukmu.” Nabi pun membiarkan statusnya seperti semula (al-Maqrizi: Imta’ al-Asma’ Cet. Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah Beirut 6/131).
Dalam versi lain disebutkan:
Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di tengah sahabatnya, beliau mendengar derap langkah. Beliau berkata, “Ini suara derap langkah sandalnya Ibnu Sa’yah. Ia hendak memberi kabar gembira padaku dengan keislaman Raihanah.” Ibnu Sa’yah datang dan berkata, “Wahai Rasulullah, Raihanah telah memeluk Islam. Bergembiralah dengan kabar ini.” Nabi mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qays (Ummul Mundzir). Ia tinggal di sana sampai mengalami haid dan suci dari haid tersebut.
Ummul Mundzir datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengabarkan bahwa Raihanah telah suci. Nabi datang ke rumahnya. Kemudian berkata pada Raihanah,
إِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ أُعْتِقَكِ، وَأَتَزَوَّجَكِ فَعَلْتُ، وَإِنْ أَحْبَبْتِ أَنْ تَكُونِي فِي مِلْكِي أَطَؤُكِ بِالْمِلْكِ فَعَلْتُ
“Kalau kau mau, aku akan memerdekakanmu. Kemudian menikahimu dan telah kulakukan. Tapi, jika kau lebih suka menjadi kepemilikanku akan aku turuti. Dan telah kulakukan.”
Raihanah menjawab,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَخَفُّ عَلَيْكَ وَعَلَيَّ أَنْ أَكُونَ فِي مِلْكِكَ
“Wahai Rasulullah, sungguh lebih ringan untuk Anda dan untukku kalau aku berada di bawah kepemilikanmu.”
Hubungan Raihanah dengan Rasulullah terus berlangsung demikian sampai ia wafat (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah, 4/604).
Apakah Raihanah Seorang Ummul Mukminin?
Para ulama berbeda pendapat apakah Raihanah termasuk istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah budak beliau. Mereka yang berpendapat bahwa Raihanah radhiallahu ‘anha adalah budak beliau berargumen dengan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Raihanah sendiri yang lebih memilih untuk menjadi budak beliau dibanding istri beliau.
Demikian juga diriwayatkan dari Ibnu Sirin (seoran tabi’in) bahwa ada seseorang menemui Raihanah radhiallahu ‘anha. Orang tersebut berkata, “Sesungguhnya Allah tidak menghendakimu sebagai ibu dari orang-orang yang beriman.” Raihanah menjawab, “(dengan demikian) engkau tidak Allah kehendaki menjadi anakku.”
Jawaban Raihanah ini menunjukkan bahwa ia bukanlah istri nabi (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Baits, Cet. Darul Yamamah Beirut, Hal: 453).
Di antara sejarawan yang berpendapat bahwa Raihanah adalah istri Nabi adalah al-Waqidi. Ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakan Raihanah binti Zaid bin Amr bin Khunafah. Dan saat itu ia telah menikah. Suaminya mencintai dan memuliakannya. Ia berkata, ‘Aku tidak akan minta dijaga (bersuamikan) siapapun setelahnya’. Ia adalah seorang wanita yang cantik. Tatkala ia menjadi tawanan dari Bani Quraizah, ia dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Aku termasuk di antara orang yang dihadapkan padanya. Ia memerintahkan agar aku dipisah. Ia memiliki bagian dari setiap rampasan perang. Saat aku dipisah, Allah membuatku tunduk. Aku ditempakan di rumah Ummul Mundzir binti Qais selama beberapa hari. Sampai eksekusi kepada pasukan Bani Quraizhah usai dan tawanan dipisahkan. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuiku. Aku merasa sangat malu. Beliau mendakwahiku dan mendudukkanku di hadapannya. Beliau bersabda,
إِنِ اخْتَرْتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ اخْتَارَكِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِنَفْسِهِ
‘Jika kau memilih Allah dan Rasul-Nya, maka Rasul-Nya pun akan memilihmu untuk dirinya’.
Aku menjawab, ‘Sesungguhnya aku memilih Allah dan Rasul-Nya’.
Saat aku telah memeluk Islam, Rasulullah membebaskanku dan menikahiku. Ia memberi mahar senilai sepuluh uqiyah (1 uqiyah =119 gr) dan gandum. Sebagaimana ia memberi mahar istri-istrinya yang lain. Pesta pernikahan digelar di rumah Ummul Mundzir. Ia membagi hari-harinya sebagaimana yang ia lakukan untuk istri-istri yang lain. Kemudian mengenakan hijab untukku.”
Al-Waqidi mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaguminya. Tidaklah ia meminta sesuatu pasti diberi. Ada yang berkata pada Raihanah, ‘Kalau saja kau meminta kepada Rasulullah untuk membebaskan Bani Quraizhah, pasti beliau akan membebaskan mereka’. Ia menjawab, ‘Ia belum bersamku sampai semua tawanan dipisah’. Rasulullah senantiasa bersamanya. Dan banyak meluangkan waktu bersamanya. Kebersamaan ini terus berlangsung hingga Raihanah wafat sepulang dari haji wada’. Nabi memakamkannya di Baqi’. Dan waktu pernikahannya dengan Nabi adalah Bulan Muharam tahun 6 H.” (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, Cet. Dar Hijr Litthaba’ah, 8/235).
Ibnu Saad dalam Tabaqatnya juga sependapat dengan al-Waqidi. Ia berkata, “Inilah yang diriwayatkan pada kami tentang pembebasan dan pernikahannya. Ini riwayat yang valid menurut kami. Dan ini juga pendapat para ulama. Namun aku mendengar terdapat riwayat bahwa ia berada di sisi Rasulullah belum dalam keadaan bebas. Ia berstatus sebagai budak Nabi hingga wafat.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, Cet. Dar Shadir Beirut, 8/130).
Pendapat yang kuat adalah Raihanah merupakan budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau tidak menikahinya. Walaupun terdapat perbedaan demikian, hal ini tidak mengurangi kedudukan Raihanah radhiallahu ‘anha. Ia memiliki kedudukan yang agung karena kedekatannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan karena ia merupakan salah seorang wanita di rumah Nabi. Telah ditakdirkan untuknya kebahagiaan dengan kedudukan ini.
Wafatnya
Raihanah telah dianugerahkan kenikmatan yang besar dengan beberapa tahun berada dalam naungan rumah Nabi yang suci. Ia mengalami hidup bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendapatkan pemuliaan dan kedudukan di dunia serta tarbiyah ruhiyah. Bersama Nabi, ia merasa nyaman dengan petunjuk dan hidayah. Namun, kehidupannya di rumah nabawi tidak begitu lama. Ia wafat di masa kehidupan Nabi.
Saat kepulangan dari haji wada’ tahun 10 H, Raihanah wafat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakamkannya di Pemakaman Baqi’ (Ahmad Khalil Jum’ah: Nisa Ahlul Bait, Hal: 454).
Semoga Allah meridhai dan merahmati Raihanah binti Zaid. Dan menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi.
Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir, kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.
Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Abi Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan, Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan tentang Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah telah menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.
Ibrahim bin Muhammad
Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah radhiallahu ‘anha. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaganya dan kandungannya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah dengan Mariyah di rumah Hafshah, sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah telah menegur lewat firman-Nya (yang artinya),
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (Q.S. At-Tahriim:1)
Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh, itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali radhiallahu ‘anhu menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,
“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, namun kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.
Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits bin Hazn al-Hilali adalah wanita terakhir yang dinikahi oleh Nabi shalallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak banyak yang mengenal wanita bangsawan Bani Hilal ini. Sekarang, mari kita mengenalnya. Karena ia adalah ibu kita, ibu orang-orang yang beriman.
Nasabnya
Ummul Mukminin Maimunah merupakan putri dari al-Harits bin Hazn bin Bujair bin al-Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal. Beliau lahir 29 tahun sebelum hijrah dan wafat tahun 51 H. Bersamaan dengan 593 M dan wafat tahun 671 M. Ibunya bernama Hind binti Auf bin Zuhair bin al-Harits bin Hamathah bin Humair.
Saudara kandung Ummul Mukminin Maimunah adalah Ummul Fadhl Lubabah al-Kubra binti al-Harits yang merupakan istri dari al-Abbas bin Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Lubabah ash-Shugra Ashma binti al-Harits. Ia adalah istri dari al-Walid bin al-Mughirah dan ibu dari Khalid bin al-Walid Saifullah radhiallahu ‘anhu. Kemudian Lubabah ash-Shugra menikah dengan Ubay bin Khalaf al-Jahmi. Darinya, ia memiliki anak yang bernama Aban dan selainnya. Saudari berikutnya adalah Izzah binti al-Harits yang merupakan istri dari Ziyad bin Abdullah bin Malik. Mereka semua merupakan saudara se-ayah dan se-ibu Maimunah. Adapun saudarinya se-ibu saja adalah Asma binti Umais yang merupakan istri dari Ja’far bin Abu Thalib (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Simthu ats-Tsamin, Hal: 189)
Ada yang menyatakan, wanita yang memiliki menantu-menantu terbaik di dunia ini adalah Hind binti Auf bin al-Harits, ibu dari Ummul Mukminin Maimunah radhiallahu ‘anha. Menantunya adalah al-Abbas dan Hamzah. Dua orang putra Abdul Muthalib. Abbas menikah dengan putrinya Lubabah al-Kubra binti al-Harits. Dan Hamzah menikahi Salma binti Umais.
Mantu lainnya adalah Ja’far dan Ali. Dua orang putra Abu Thalib. Keduanya menikah dengan Asma binti Umais. Pertama Asma dinikahi Ja’far. Setelah Ja’far gugur di Perang Mu’tah dan Asma selesai masa iddahnya, ia dinikahi oleh Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian baru dinikahi Ali bin Abu Thalib. Saat Hamzah wafat di Perang Uhud, Salma dinikahi oleh Usamah bin al-Hadi al-Laitsi.
Dan menantu terbaiknya tentu saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menikahi dua orang putrinya. Pertama Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah radhiallahu ‘anha. Setelah ia wafat, di masa berikutnya Rasulullah menikahi Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits (al-Ashami: Simthu an-Nujum al-Awali, 1/201).
Kalau hanya melihat dari sudut duniawi; kedudukan, nasab, dan ketokohan, tentu nama al-Walid bin al-Mughirah -ayah Khalid bin al-Walid- akan menjadi pelengkap betapa menterengnya menantu-menantu Hind binti Auf. Namun sudut pandang ukhrawi lebih kita kedepankan. Sehingga tak menjadikan al-Walid sebagai tambahan kemuliaan untuknya. Allah Ta’ala berifrman tentang nilai seorang yang kafir,
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلَا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi mereka pada hari kiamat.” [Quran Al-Kahfi: 105].
Kemuliaannya
Ummul Mukminin Maimunah binti al-Harits dihormati oleh istri-istri yang lain. Karena ia adalah saudari dari Ummul Fadhl, istri paman nabi, al-Abbas bin Abdul Muthalib radhiallahu ‘anhu. Kemudian bibi dari Khalid bin al-Walid. Dan juga bibi Abdullah bin Abbas (adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 2/238).
Keistimewaan lain dari Ibunda Maimunah adalah ia meriwayatkan tujuh hadits yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Satu hadits yang diriwayatkan al-Bukhari saja. Lima hadits oleh Muslim saja. Dan total hadits-hadits yang ia riwayatkan sebanyak tiga belas hadits (adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 2/238).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Ummul Mukminin Maimunah dan saudari-saudarinya sebagai wanita yang beriman. Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَخَوَاتُ مُؤْمِنَاتٌ: مَيْمُونَةُ زَوْجُ النَّبِيِّ، وَأُمُّ الْفَضْلِ بنتُ الْحَارِثِ، وسَلْمَى امْرَأَةُ حَمْزَةَ، وَأَسْمَاءُ بنتُ عُمَيْسٍ هِيَ أُخْتُهُنَّ لأُمِّهِنَّ
“Saudara-saudara perempuan yang beriman adalah Maimunah istri Nabi, Ummul Fadhl binti al-Harits, Salma istri dari Hamzah, dan Asma binti Umais yang merupakan saudara se-ibu mereka.” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak 6801. Ia mengatakan shahih sesuai dengan syarat Muslim).
Menikah dengan Rasulullah
Kisah cinta itu bermula saat Maimunah hidup sendiri tanpa suami. Al-Abbas yang merupakan orang dekat Maimunah dan orang dekat Rasulullah, menawarkan Maimunah kepada Rasulullah saat sedang di Juhfah. Rasulullah pun tertarik kemudian menikahinya. Tanah di Sarif, 10 Mil dari Mekah menjadi saksi rumah tangga ini mulai dibina. Pernikahan ini berlangsung pada tahun ke-7 H (629 M) saat umrah qadha. Melalui Abbas, Rasulullah membayarkan mahar senilai 400 Dirham.
Sebelumnya, Maimunah merupakan istri dari Abu Ruhm bin Abdul Uzza bin Abu Qais bin Abdu Wud bin Nashr bin Malik bin Hasl bin Amir bin Luay. Ada yang menyatakan bahwa Maimunah adalah wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi. Saat menunggai ontanya, Maimunah berkata, “Tunggangan ini dan apa yang ada di atasnya adalah untuk Allah dan Rasul-Nya.” Allah Ta’ala menurunkan firma-Nya,
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” [Quran Al-Ahzab: 50]
Ada pula yang mengatakan bahwa nama Maimunah dulu adalah Barrah. Kemudian Rasulullah menggantinya dengan Maimunah. Ia adalah istri yang sangat dekat dengan Nabi. Di antara bukti kedekatannya adalah Nabi terbiasa mandi bersamanya melalui satu wadah air yang sama (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Simthu ats-Tsamin, Hal: 192).
Hikmah Pernikahan
Dengan menikahi Maimunah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan kemaslahatan besar. Hubungan ipar dengan Bani Hilal berhasil menarik simpati mereka. Membuat mereka tak ragu memeluk agama yang mulia ini. Karena mereka tak merasa ada jarak antara mereka dengan Nabi Muhammad. Hilanglah rasa kikuk dan berat di hati. Taka da lagi gengsi, karena mereka telah menjadi satu keluarga (Muhammad Fathi Mus’id: Ummahatul Mukminin, Hal: 206).
Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah mengatakan, “Paman Nabi, Abbas, lah yang sangat menginginkan terjadinya pernikahan ini. Ditambah lagi Maimunah merupakan saudari istrinya, Lubabah al-Kubra Ummul Fadhl. Ia mengikatkan keduanya atas izin Ummul Fadhl. Sekiranya Abbas tidak melihat adanya maslahat besar dari pernikahan ini, tentu ia tak akan sebegitu perhatian terhadap hal ini (Muhammad Rasyid Ridha: Nida Li al-Jinsi al-Lathif fi Huquq an-Nisa fi al-Islam, Hal: 84).
Di Rumah Tangga Nabawi
Ibnu Hisyam mengatakan, “Maimunah menyerahkan urusannya kepada saudarinya, Ummul Fadhl. Lalu Ummul Fadhl membicarakannya dengan suaminya, Abbas. Sampai akhirnya Rasulullah menikahinya. Dan memberi mahar sebanyak 400 Dirham (Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah: 3/439).
Ada pula yang mengatakan Maimunah langsung yang menawarkan dirinya kepada Nabi. Kemudian Allah Ta’ala menurunkan firman-Nya,
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” [Quran Al-Ahzab: 50]
Maimunah berkata, “Onta dan apa yang ada di atasnya milik Rasulullah.” (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah, 2/646).
Dengan menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha bergabung dengan istri-istri lainnya. Mereka sama-sama memiliki peranan dalam menyampaikan kehidupan Rasulullah kepada umatnya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَى فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ لَطِيفًا خَبِيرًا
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” [Quran Al-Ahzab: 34]
Di antara tugas istri-istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyampaikan hukum-hukum syariat, aktivitas-aktivitas Nabi, yang tidak dilihat oleh masyarakat umum. Mereka menyampaikan bagaimana Nabi mandi dan berwudhu. Apa yang dilakukan Nabi sebelum dan saat tidur, juga saat bangun dari tidur. Saat masuk dan keluar rumah, dan hal-hal lainnya yang tidak bisa diketahui secara detil kecuali oleh istri-istri beliau radhiallahu ‘anhunna. Merekalah yang senantiasa bersama Nabi saat di rumah.
Wafatnya
Ummul Mukmini Maimunah binti al-Harits radhiallahu ‘anha wafat di daerah Sarif. Sebuah tempat antara Mekah dan Madinah. Tempat pertama ia membangun rumah tangga dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau wafat pada tahun 51 H/671 M, sebagaimana yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar dan selainnya. Saat wafat, usia beliau adalah 80 atau 81 tahun (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/140).
Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai memiliki silsilah nasab mulia. Ia seorang bangsawan Bani Nadhir keturunan Nabi Harun ‘alaihissalam. Artinya jika ditarik garis nasabnya, Nabi Musa ‘alaihissalam terhitung sebagai pamannya. Keutamaan itu semakin lengkap karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suaminya.
Nasabnya
Beliau adalah Shafiyah binti Huyai bin Akhtab bin Syu’ah bin Ubaid bin Ka’ab bin al-Khazraj bin Abi Hubaib bin an-Nadhir bin an-Niham bin Tahum dari Bani Israil yang termasuk cucu Nabi Harun bin Imran ‘alaihissalam. Ibunya adalah Barrah binti Samau-al.
Ummul Mukminin Shafiyah lahir tahun 9 sebelum hijrah dan wafat 50 H. Tahun lahir dan wafat itu bertepatan dengan 613 M dan 670 M.
Sebelum menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, Ibunda Shafiyah bersuamikan Sallam bin Misykam. Ia adalah seorang penyair. Kemudian Sallam menceraikannya. Berikutnya ia menikah dengan Kinanah bin Abu Huqaiq yang juga merupakan seorang penyair. Di zaman itu, penyair menempati posisi mulia. Mereka terhitung sebagai cerdik cendekia. Dan suami terakhirnya tewas di Perang Khaibar (Ibnu Abdil Bar: al-Isti’ab, 4/1871 dan Muhibbuddin ath-Thabari: as-Simthu ats-Tsamin Hal: 201).
Kaum Yang Membenci Risalah Rabbani
Ummul Mukminin Shafiyah radhiallahu ‘anha adalah seorang bangsawan Bani Quraizhah dan Bani an-Nadhir. Ayahnya, Huyai bin Akhtab, adalah tokoh Yahudi sekaligus ulama mereka. Sang ayah tahu bahwa Muhammad bin Abdullah adalah seorang nabi akhir zaman. Ia tahu persis sejak kali pertama kaki Nabi yang mulia menjejak tanah Yatsrib (nama Madinah di masa lalu). Namun ia sombong dan menolak kebenaran. Karena apa? Karena nabi itu berasal dari Arab bukan dari anak turunan Israil (Nabi Ya’qub).
Keadaan ayah Ummul Mukmini Shafiyah ini, langsung ia ceritakan sendiri. Ia bercerita, “Tak ada seorang pun anak-anak ayahku dan pamanku yang lebih keduanya cintai melebihi aku. Tak seorang pun anak-anak keduanya membuat mereka gembira, kecuali ia melibatkan aku bersamanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Quba -perkampungan Bani Amr bin Auf-, ayah dan pamanku, Abu Yasir bin Akhtab, datang menemuinya di pagi buta. Demi Allah, mereka baru pulang menemui kami saat matahari menghilang. Keduanya datang dengan ekspresi layu, lunglai, dan jalan tergontai lesu. Aku berusaha membuat mereka gembira seperti yang biasa kulakukan. Demi Allah, tak seorang pun dari keduanya peduli walau hanya sekadar menoleh padaku. Aku dengar pamanku, Abu Yasir, bicara pada ayahku, “Apakah dia itu memang si nabi itu? “Iya, demi Allah,” jawab ayah. “Kau kenali dia dari sifat-sifat dan tanda-tandanya?” tanya paman lagi. “Iya, demi Allah,” ayah memberikan jawaban yang sama. “Lalu bagaimana keadaan dirimu terhadapnya?” tanya paman. Ayah menjawab, “Demi Allah, permusuhan selama aku masih hidup.”
Diceritakan oleh Musa bin Uqbah az-Zuhri bahwa saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, Abu Yasir bin Akhtab datang menemui beliau. Ia mendengar ucapan-ucapan beliau. Setelah itu, ia kembali ke kaumnya dan berkata, “Taatilah aku. Sesungguhnya Allah telah mendatangkan pada kalian seseorang yang kalian tunggu-tunggu. Ikutilah dia! Jangan kalian menyelisihinya.”
Kemudian Huyai bin Akhtab yang merupakan pimpinan Yahudi segera beranjak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia duduk dan mendengar ucapan Nabi. Setelah itu pulang menuju kaumnya. Huyai adalah seorang yang ditaati. Ia berkata, “Aku telah datang menemui laki-laki itu. Demi Allah, aku akan senantiasa memusuhinya selamanya.”
Abu Yasir berkata, “Hai anak pamanku, ikutlah bersamaku dalam permasalahan ini. Selain urusan ini silahkan tidak bersamaku sekehendakmu. Kau tidak akan binasa.”
Huyai menjawab, “Tidak! Demi Allah! Aku tak akan menurutimu.” Ia dikuasai oleh setan. Dan kaumnya mengikuti pandangannya (Ibnu Hisyam: as-Sirah an-Nabawiyah 1/519-520 dan Ibnu Katsir: as-Sirah an-Nabawiyah 2/298).
Pernikahan Terindah
Sejak Nabi tiba di Madinah, orang-orang Yahudi Khaibar telah bulat menolak ajakan damai. Kebuntuan tersebut tak dapat didobrak kecuali dengan perang. Pecahlah perang antar dua kelompok yang akhirnya dimenangkan oleh umat Islam.
Saat para tawanan dikumpulkan, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, berilah aku seorang budak wanita dari tawanan ini.” Nabi menaggapi, “Silahkan. Ambillah seorang budak perempuan.” Dihyah yang Malaikat Jibril suka menyerupainya ini memilih Shafiyah binti Huyai.
Lalu datang seseorang menemui Nabi. Ia berkata, “Wahai Nabi Allah, Anda telah memberikan Dihyah seorang Shafiyah binti Huyai. Seorang tokoh Bani Quraizah dan Bani Nadhir. Wanita yang tidak layak untuk siapapun kecuali Anda. Kemudian Nabi bersabda, “Panggil Dihyah bersama dengan Shafiyah.” Dihyah pun datang membawa Shafiyah. Saat Nabi melihat Shafiyah, beliau berkata pada Dihyah, “Pilihlah tawanan wanita selain dirinya.”
Dalam kesempatan lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk membawa Shafiyah. Saat hendak menemui Nabi, Bilal membawa Shafiyah lewat di jalan yang banyak korban perang. Rasulullah tidak menyukai apa yang dilakukan Bilal. Beliau bersabda, “Apakah telah hilang rasa kasih sayang pada dirimu, Bilal?”
Rasulullah menawari Shafiyah untuk memeluk Islam. Ia pun memilih Islam. Kemudian Nabi memperistrinya (setelah masa iddahnya selesai). Pembebasannya sebagai tawanan adalah mahar pernikahannya. Saat memandangnya, Nabi melihat ada bekas lebam di wajah Shafiyah. Beliau bertanya, “Apa ini?” Shafiyah menjawab, “Sebelum kedatanganmu, aku bermimpi seakan rembulan hilang dari tempatnya dan masuk ke rumahku. Demi Allah, saat itu aku sama sekali tidak menyebut-nyebut dirimu. Kemudian kuceritakan mimpi itu pada suamiku. Ia pun menamparku.” Ia berkata, “Kau berharap penguasa Madinah itu!” (Ibnul Qayyim: Zadul Ma’ad, 3/291)
Salah satu hikmah dari berbilangnya istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah faktor sosial. Yaitu menolong dan menjaga perasaan orang yang dinikahi. Agama Islam menjaga kedudukan seseorang. Dengan Islam kedudukan mereka tidak terjatuh, bahkan semakin mulia. Siapa yang mulia sebelum memeluk Islam, semakin mulia kedudukannya dengan Islam. Demikian juga keadaan Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai radhiallahu ‘anha. Ia adalah wanita mulia sebelum memeluk Islam. Seorang pemuka kaumnya. Putri dari kepala kabilah. Dan istri seorang yang mulia pula. Setelah ia memeluk Islam, agama yang mulia ini tetap menjaga kedudukannya. Menjaga perasaannya. Allah nikahkan dia dengan orang paling mulia di tengah-tengah kaum muslimin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah Memuliakan Shafiyah
Rasulullah adalah seorang yang lembut dan penyayang kepada istri-istrinya, termasuk kepada Ummul Mukminin Shafiyah radhiallahu ‘anha. Suatu hari, sampai di telinga Shafiyah bahwa istri nabi, Hafshah binti Umar, menyebutnya dengan putri seorang Yahudi. Shafiyah menangis. Saat bersamaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemuinya dan melihatnya menangis. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ia menjawab, “Hafshah binti Umar berkata padaku bahwa aku adalah putri seorang Yahudi.” Nabi berkata padanya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi. Pamanmu pun seorang nabi. Dan engkau dalam naungan seorang nabi. Bagaimana kau tidak bangga dengan hal itu.” Kemudian beliau berkata pada Hafsha, “Wahai Hafshah, bertakwalah kepada Allah.” (Muhibbuddin ath-Thabari: as-Shimthu ats-Tsamin Hal 207).
Maksud Shafiyah putri seorang nabi adalah nasabnya yang sampai Nabi Harun. Sehingga Nabi Harun terhitung sebagai ayahnya. Dan Nabi Harun merupakan saudara Nabi Musa. Sehingga ia memiliki paman seorang nabi juga. Tentang di bawah naungan nabi. Maksudnya suamimu yang menaungimu pun nabi.
Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di masjid. Nabi bersama istri-istrinya. Saat mereka pergi, Nabi berkata kepada Shafiyah binti Huyay, “Jangan tergesa-gesa pulang. Akan kuantar engkau.” Rumah Shafiyah berada di tempatnya Usamah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar bersama Shafiyah. Di jalan, Nabi bertemu dua orang Anshar. Keduanya memandang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sesaat lalu terus berjalan. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata pada keduanya, “Kemarilah kalian, ini adalah Shafiyah binti Huyay”. Maka keduanya berkata, “Maha suci Allah, wahai Rasulullah”. Lalu Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya syetan berjalan pada diri manusia lewat aliran darah dan aku khawatir telah timbul suatu perasaan pada diri kalian berdua.” (HR. Al-Bukhari No. 1897 Kitab I’tikaf)
Wafat
Ummul Mukminin Shafiyah binti Huyai radhiallahu ‘anha wafat pada tahun 50 H/670 M di zaman pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu. Dan beliau dimakamkan di Pemakaman Baqi’ (Ibnu Hajar: Tadzhib at-Tadzhib, 12/380).
Ummu Habibah adalah wanita yang menikah dengan Rasulullah dari jarak jauh. Rasulullah di Madinah, sedangkan ia berada di Afrika, di Habasyah. Bagaimana bisa? Simak kisahnya berikut ini.
Ummul Mukminin Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah)
Nasab
Sebagaiman kita ketahui, dalam Bahasa Arab nama yang sebelumnya terdapat kata Ummu, Abu, Ibnu, dan bintu dinamakan dengan kun-yah. Demikian juga dengan Ummu Habibah. Ini adalah kunyah bukan nama. Nama beliau adalah Ramlah binti Abu Sufyan (Shakhr) bin Harb bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf al-Umawiyah. Ia dilahirkan 25 tahun sebelum hijrah. Dan wafat pada tahun 44 H.
Ibunya adalah Shafiyah binti Abi al-Ash bin Umayyah. Ibunya merupakan bibi dari Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.
Hijrah
Ummu Habibah hijrah bersama suaminya, Ubaidullah bin Jahsy, menuju Habasyah pada hijrah yang kedua. Di sanalah ia melahirkan seorang anak yang bernama Habibah. Namun sayang, sang suami murtad dan memeluk Nasrani saat berada di bumi hijrah Habasyah. Tentu ini musibah besar bagi Ummu Habibah. Ia berada di perantauan. Negeri asing nun jauh dari sanak saudara. Kalau pulang ke kampung halaman Mekah, ia berada dalam ancaman. Ayahnya tak menerima keislamannya. Sekarang ia benar-benar sebatang kara setelah suaminya murtad. Tapi ia tetap teguh dengan keislamannya (Ibnu Sayyid an-Nas: Uyun al-Atsar, 2/389).
Di Habasyah, Ummu Habibah bermimpi dengan mimpi yang aneh. Kemudian mimpi ini menjadi nyata. Ia bercerita, “Dalam mimpiku kulihat suamiku Ubaidullah bin Jahsy terlihat berpenampilan sangat buruk. Aku merasa takut. Dari situ keadannya pun berubah. Pagi harinya suamiku berkata, ‘Hai Ummu Habibah, sungguh aku belum pernah melihat agama yang lebih baik dari Nasrani. Dulu, aku memeluk agama ini. Setelah itu aku memeluk agamanya Muhammad. Sekarang aku kembali lagi menjadi Nasrani’. Kukatakan padanya, ‘Demi Allah, tidak ada kebaikan untukmu’. Kukabarkan padanya tentang mimpiku. Namun ia tak peduli. Akhirnya ia menjadi pecandu khamr hingga wafat.
Kedudukan dan Keutamaan
Dari sisi nasab, Ummu Habibah adalah wanita Quraisy yang tersambung nasabnya dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf. Dan tidak ada seorang pun istri beliau yang beliau nikahi melalui jarak jauh seperti Ummu Habibah (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala 2/219).
Kedudukan lainnya, ia adalah putri dari tokoh besar Mekah dan pemimpinnya, Abu Sufyan bin Harb. Tentu keislamannya sangat beresiko bagi dirinya dan membuat malu ayahnya. Ia tahu memeluk Islam ibarat menyodorkan diri pada bahaya besar. Tak ragu lagi, pasti membuat sang ayah murka. Karena itulah ia menempuh perjalanan jauh dan melelahkan bersama sang suami menuju Afrika nun jauh di sana. Hijrah ke Habasyah. Beratnya hijrah semakin terasa lagi karena saat itu ia tengah mengandung anaknya, Habibah (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra 8/97). Inilah perjuangan di jalan Allah. Membuktikan kesungguhan dan kedalaman imannya kepada Allah Ta’ala.
Ujian untuknya tak berhenti sampai di situ. Di perantauan, sang suami murtad. Dan wafat dalam keadaan suul khatimah. Kufur memeluk Nasrani. Betapaun berat yang ia rasakan, ia tetap tegar. Ayahnya yang kufur, suaminya yang murtad, masa-masa kesendiriannya tak menggoyahkan imannnya.
Kabar Gembira
Di kesempatan lainnya, Ummu Habibah kembali bermimpi. Namun mimpi kali ini adalah mimpi indah. Ada seorang yang datang kepadanya dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin.” Aku kaget. Dan kutakwil mimpi itu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersuntingku. Setelah usai masa iddahku, datang seorang utusan an-Najasyi di depan pintu. Meminta izin bertemu. Ternyata itu adalah budak perempuan miliknya yang namanya Abrahah. Dialah yang mengurusi pakaian an-Najasyi dan meminyaki dirinya. Ia masuk ke rumahku dan berkata, “Raja berpesan untukmu, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat padaku untuk menikahkanmu dengannya’. Allah memberimu kabar gembira yang begitu baik”, sambung budak itu. Ia melanjutkan, “Raja berkata padamu tunjuk orang yang mewakilimu untuk menikahkanmu.” Ummu Habibah mengirim Khalid bin Said bin al-Ash. Ia mewakilkan dirinya dengan Khalid. Kemudian ia memberi Abrahah dua gelang perak dan dua perhiasan yang dikenakan di kaki. Dan juga cicin perak itu disematkan di jari kakinya. Hal itu sebagai bentuk syukur atas kabar gembira yang ia bawa.
Saat tiba waktu sore, an-Najasyi memerintah Ja’far bin Abu Thalib untuk mengundang kaum muslimin menghadiri resepsi pernikahan ini. An-Najasyi berkhotbah, “Segala puji bagi Allah. Sang Maha Raja, Maha Suci, Maha Pemberi keselamatan, Maha Memberi keamanan, Maha Menjaga, Maha Perkasa, dan Maha Kuat. Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dialah yang dikabarkan oleh Isa bin Maryam. Amma ba’du. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepadaku agar menikahkannya dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Aku pun memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku memberikan sebanyak 400 Dinar. Kemudian aku serahkan Dinar-Dinar itu kepada sekelompok orang.”
Khalid bin Saad gantian berbicara, “Segala puji bagi Allah. Aku memuji-Nya, meminta kepada-Nya, dan memohon pertolongan-Nya. Aku bersaksi tidak sesembahan yang benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dia mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar. Agar agama tersebut menang dibanding agama selainnya. Walaupun hal itu membuat orang-orang musyrik benci. Amma ba’du. Aku telah memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan kunikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Semoga keberkahan dari Allah untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.”
Sejumlah Dinar tadi, diserahkan kepada Khalid bin Saad. Lalu ia mendekapnya. Merasa acara walimah telah usai, para tamu mulai beranjak. Khalid berkata, “Duduklah. Sesungguhnya di antara sunnah para nabi apabila mereka menikah, mereka memberi hidangan makanan”. Ia pun mengundang mereka makan. Hidangan disantap. Setelah itu baru mereka pulang.
Ummu Habibah berkata, “Saat mas kawin tadi sampai di tanganku, kuserahkan ia kepada Abrahah yang telah memberi kabar gembira padaku. Kukatakan padanya, ‘Aku pernah memberimu apa yang telah aku berikan waktu itu. Padahal saat itu, aku tak memiliki sepeser harta pun. Ini ada lima puluh sekiaan (sejumlah harta). Ambil dan gunakanlah’. Ia menolak harta itu. Setiap aku memberinya, ia selalu mengembalikannya padaku. Ia berkata, ‘Raja berpesan padaku agar tak menerima sedikit pun darimu. Dan akulah orang yang mengurusi pakaiannya dan wewangiannya. Sungguh aku telah mengikuti agama Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku telah berserah diri (berislam) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Raja menitahkan kepada istri-istrinya agar mengirimimu wewangian yang mereka punya’.
Ummu Habibah berkata, “Esoknya aku kedatangan gaharu, waros, bibit parfum, zabbad (sejenis wewangian) yang banyak. Kuperuntukkan semua itu kepada Rasulullah. Beliau melihatnya dan tidak mengingkarinya.”
Abrahah berkata, “Hajatku padamu hanyalah engkau menyampaikan salam dariku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampaikan padanya bahwa aku telah mengikuti agamanya.” Kata Ummu Habibah, Abrahah senantiasa berbuat baik dan melayaninya. Setiap ia menjumpai Ummu Habibah, ia selalu mengingatkan, “Jangan lupa kau sampaikan keinginanku.”
Ummu Habibah berkata, “Saat aku berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kuceritakan bagaimana proses lamaran dan segala perbuatan baik Abrahah padaku. Beliau tersenyum. Dan aku sampaikan salam darinya pada beliau. Nabi menjawab,
وَعَلَيْهَا السَّلامُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
“Untuknya juga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/97-98).
Hikmah Pernikahan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Habibah pada tahun ke-7 H. Beliau menikahinya karena memuliakannya dan meneguhkan agamanya. Kita tahu bagaimana perjalanan hidup Ummu Habibah. Cobaan berat dari ayah, suami, dan keadaan telah menempanya. Tidak sedikit seorang wanita yang teguh memegang kebenaran jatuh lunglai tatkala suaminya yang semula seperjuangan malah balik ke belakang. Namun tidak dengan Ummu Habibah. Ia berhijrah bersama anaknya. Merasa sedih ditinggal sang suami dalam situasi ia sangat membutuhkannya. Orang tua yang semestinya menjadi tempat mengadu -setelah Allah- pun tidak dapat ia andalkan. Ia tinggal sendiri di sebuah tempat bermi-mil jaraknya dari kampung halaman. Namun ia tetap bersabar dengan keadaannya. Tetap teguh memegang agamanya. Kemudian Allah hibur dia dengan menikahkannya dengan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan menjadikannya ibu orang-orang yang beriman.
Perhatikanlah! Bagaimana perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap kaum muslimin. Meskipun mereka berada di negeri yang jauh di Habasyah, beliau tetap mengikuti perkembangan berita mereka. Bahkan kabar perkembangan per individu mereka. Di antaranya tentang Ummu Habibah. Cobaan bergilir datang padanya. Ia tetap teguh dengan iman dan agamanya. Ia bersabar. Dan Allah membalas kesabarannya dengan menikahkannya dengan manusia terbaik yang pernah ada.
Cintanya Kepada Nabi
Diriwayatkan bahwa Abu Sufyan datang ke Madinah. Kedatangannya dalam rangka melobi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdamai. Setelah sebelumnya mereka sendiri, kaum Quraisy, membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Setelah Rasulullah menolak permintaannya, Abu Sufyan mencoba jalan lainnya. Yaitu melobi Rasulullah melalui putrinya yang merupakan istri Rasulullah, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha.
Saat Abu Sufyan hendak duduk di kasur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Habibah bersegera melipatnya. Abu Sufyan berkata, “Putriku, (aku tak mengerti) apakah kasur ini tidak layak bagiku (karena kau ingin yang lebih baik). Ataukah aku yang tak pantas duduk di kasur itu?” Ummu Habibah mengatakan, “Ini adalah kasurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Anda adalah seorang musyrik yang najis. Aku tidak suka ayah duduk di kasurnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abu Sufyan berkata, “Putriku, kau menjadi jahat setelah berpisah denganku.” “(Tidak) bahkan Allah menunjukiku kepada Islam. Dan Anda -wahai ayah- adalah tokoh dan pembesar Quraisy, bagaimana bisa engkau terluput dari memeluk Islam. -Sebagai orang besar- Anda malah menyembah batu yang tidak mendengar juga melihat?!” Abu Sufyan pun pergi meninggalkan putrinya (ash-Shalihi asy-Syami: Subul al-Huda wa ar-Rasyad, 5/206).
Kecintaan Ummu Habibah radhiallahu ‘anha kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tergambar dalam riwayat berikut ini:
“Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, anak perempuan Abu Sufyan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah engkau senang akan hal itu?” Ummu Habibah menjawab, “Benar, aku tidak hanya ingin menjadi istrimu, dan aku ingin saudara perempuanku bergabung denganku dalam memperoleh kebaikan”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Saudara perempuanmu itu tidak halal bagiku. Ummu Habibah berkata, “Kami mendengar berita bahwa engkau ingin menikahi anak perempuan Abu Salamah?” Beliau bersabda, “Anak perempuan Abu Salamah?” Ummu Habiibah menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Seandainya ia bukan anak tiriku yang ada dalam asuhanku, dia tetap tidak halal aku nikahi, karena ia adalah anak perempuan saudara laki-lakiku dari hubungan persusuan, yaitu aku dan Abu Salamah sama-sama pernah disusui oleh Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab). Oleh karena itu, janganlah engkau tawarkan anak perempuanmu atau saudara perempuanmu kepadaku.” (HR. Bukhari, no. 5101 dan Muslim, no. 1449).
Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala:
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Quran Al-Mumtahanah: 7].
Ayat ini turun berkaitan dengan Abu Sufyan. Rasulullah menikahi putrinya, Ummu Habibah radhiallahu ‘anha. Kemudian menjadi tali penyambung jauhnya hubungan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Abu Sufyan (Ibnu Katsir: Tafsir al-Quran al-Azhim, 8/89).
Sepeninggal Nabi
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Ummu Habibah tetaplah orang yang sama. Ia tetap wanita yang dulu, yang teguh dalam memegang kebenaran. Ketika datang berita kematian ayahnya, ia meminta wangi-wangian. (Setelah didatangkan), ia pun mengusapkannya pada kedua hastanya seraya berkata, “Sebenarnya aku tidak membutuhkan wangi-wangian ini seandainya aku tidak mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung pada seorang mayit lebih dari tiga hari, kecuali pada suaminya yaitu selama empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari, no. 5335 dan Muslim, no. 1491)
Selama 33 tahun melanjutkan kehidupannya sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Habibah banyak melewati peristiwa-peristiwa besar bersama kaum muslimin. Saat terjadi petaka di zaman Utsman, para pemberontak kian mengganas. Seseorang berkata, “Seandainya kalian menemui salah seorang Ummul Mukminin. Mudah-mudahan mereka berhenti dari Utsman. Mereka menemui Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Aku (periwayat yaitu Hasan al-Bashri) melihat ia berada di sekedup di atas Bagal (peranakan kudan dengan keledai) putihnya. Orang-orang membawanya ke kediaman Utsman. Namun para pemberontak memalingkan arah tunggangannya. Mereka menolaknya. (Adz-Dzahabi: Siyar A’lam an-Nubala, 4/569).
Ummu Habibah radhiallahu ‘anha juga senantiasa menjaga hubungan baiknya dengan saudari-saudarinya sesama istri Nabi. Dari ‘Auf bin Al-Harits, ia mendengar Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ummu Habibah pernah memanggilku ketika ia akan meninggal dunia. Ia berkata, ‘Di antara kita pasti pernah ada masalah. Semoga Allah mengampuni aku dan engkau dari apa saja yang terjadi di antara kita.” Aisyah pun berkata, “Moga Allah memaafkanmu atas seluruh kesalahanmu dan menghalalkan itu semua.” Ummu Habibah lantas berkata, “Engkau telah membahagiakanku, semoga Allah juga memberikan kebahagiaan untukmu.” Ummu Habibah juga menyatakan kepada Ummu Salamah seperti itu pula. (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 8/100).
Wafatnya
Ummu Habibah wafat di Kota Madinah tahun 44 H. Saat itu beliau berusia 86 tahun. Ia wa fat di masa pemerintahan saudaranya, Muawiyah bin Abu Sufyan. Semoga Allah meridhai mereka semua (Ibnu Hajar: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 7/653).