Doa Mudik Beserta Penjelasannya
Di negeri kita, lebaran identik dengan mudik atau pulang ke kampung halaman. Mudik menjadi kebiasaan sebagian keluarga Muslim di hari-hari lebaran, guna mencurahkan bakti kepada orang tua, menyambangi sanak kerabat atau menjumpai para sahabat karib yang sudah lama tak jumpa; sehingga tali silaturahmi tetap terjalin baik dan persahabatan pun kian menguat.
Menjalin hubungan tali silaturahmi diperintahkan oleh agama. Bahkan menjadi faktor yang mendatangkan rezeki dan memanjangkan umur. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barang siapa ingin dibentangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaknya menyambung tali silaturahmi. [HR. al-Bukhâri dan Muslim]
Banyak hal yang dipersiapkan oleh pemudik untuk mensukseskan acara ini. Bekal finansial pasti sudah disiapkan. Bahkan, mungkin sudah disiapkan jauh-jauh hari. Sebab, tak jarang, pemudik harus menempuh jarak yang sangat jauh, melewati batas-batas propinsi bahkan lautan dalam beberapa hari. Karena ini momen penting, lebaran yang cuma datang sekali dalam setahun, maka tidak ingin mereka lewatkan tanpa pulang kampung.
TIDAK MELUPAKAN BERDOA DALAM SAFAR
Salah satu tata cara bepergian yang diajarkan Islam (dari sekian banyak adabnya), yaitu seseorang mengawali perjalanannya dengan membaca doa safar yang mengandung makna yang sangat penting dan dalam (yang nanti akan dijelaskan).
Seorang Muslim selalu ingat kepada Allah Azza wa Jalla dimanapun ia berada. Terkait dengan doa, momen perjalanan memiliki nilai khusus yang tidak boleh dianggap remeh; karena termasuk salah satu waktu doa dikabulkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
Tiga doa yang dikabulkan, tidak ada keraguan padanya, yaitu : doa orang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya. [HR. at-Tirmidzi]
TEKS DOA SAFAR
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ . اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى. اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ . اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي اْلأَهْلِ . اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَ هْلِ
Allah Maha besar (3x). Maha suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan ketakwaan dalam perjalanan ini, kami mohon perbuatan yang engkau ridhai. Ya Allah, permudahlah perjalanan kami dan perpendek jaraknya bagi kami. Ya Allah, Engkaulah pendampingku dalam perjalanan dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kepayahan dalam perjalanan, pemandangan yang menyedihkan dan keadaan kepulangan yang buruk dalam harta dan keluarga. [HR Muslim]
PENJELASAN DOA SAFAR
Doa di atas terdapat manfaat yang sangat besar bagi seorang Muslim yang sedang menyelesaikan perjalanan jauhnya. Sebab, mencakup permohonan akan kemaslahatan (kebaikan) bagi agama dan kebaikan dunia, harapan memperoleh hal-hal yang disukai dan terhindar dari hal-hal yang dibenci. Juga berisi ungkapan syukur seorang hamba atas nikmat dan anugerah-Nya serta aktifitas safar yang penuh dengan amal ketaatan. [1]
Berikut ini pemaparan maknanya:
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ
Allah Maha Besar (3x).
Ini merupakan doa pembuka perjalanan dengan takbir dan pujian kepada Allah Azza wa Jalla .
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا
Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami
Dalam penggalan doa terdapat pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas kemudahan yang dianugerahkan bagi umat manusia dengan menundukkan dan menyediakan alat-alat transportasi yang berfungsi mengangkut barang-barang dan manusia ke tempat-tempat yang jauh, wilayah yang jaraknya luas dan sekaligus sebagai pengakuan akan nikmat tersebut.
Seluruh alat angkut dan transportasi masuk di dalam pengertiannya. Termasuk onta, kuda, kapal, alat transportasi darat dan udara serta lainnya.
Oleh karena itu, saat menaiki kapal, Nabi Nûh Alaihissallam berkata kepada para penumpang (pengikutnya), seperti yang telah diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla dalam surat Hûd/11 : 41
ارْكَبُوا فِيهَا بِسْمِ اللَّهِ مَجْرَاهَا وَمُرْسَاهَا ۚ إِنَّ رَبِّي لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.
Seluruh alat angkut, seluruh faktor dan unsur yang menyempurnakannya sehingga dapat berfungsi dengan baik, semua itu murni kenikmatan dari Allah Azza wa Jalla dan kemudahan dari-Nya. Kita wajib mengakui kenikmatan Allah Azza wa Jalla saat itu, terutama ketika kita mempergunakannya.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ
sedang sebelumnya kami tidak mampu
Melalui doa itu, kita diingatkan peran mutlak Allah Azza wa Jalla dalam fasilitas ini. Jika tidak ada kemudahan dari-Nya, kita tidak akan pernah bisa memanfaatkannya. Sebab, ilmu, kekuatan dan kekuasaan manusia sangat terbatas, lemah sekali. Akan tetapi, dengan kasih dan rahmat-Nya, Allah Azza wa Jalla menyediakan dan memudahkan manusia untuk memanfaatkan bangsa binatang dalam urusan angkutan dan mengajari manusia membuat alat angkutan sendiri.
Demikianlah Allah Azza wa Jalla , mengingatkan umat manusia bahwa Dia Azza wa Jalla lah yang mengajari mereka menciptakan piranti-piranti yang menunjang kehidupan mereka, sebagaimana Allah Azza wa Jalla menceritakan hal tersebut saat mengajari Nabi Dâwud Alaihissallam pembuatan tameng untuk perlindungan diri. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَعَلَّمْنَاهُ صَنْعَةَ لَبُوسٍ لَكُمْ لِتُحْصِنَكُمْ مِنْ بَأْسِكُمْ ۖ فَهَلْ أَنْتُمْ شَاكِرُونَ
Dan telah Kami ajarkan kepada Dâwud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperangan; maka hendaklah kamu bersyukur (kepada Allah). [al-Anbiyâ/21:80]
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Umat manusia wajib bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla . Sebab Allah Azza wa Jalla lah yang mengajari mereka membuat pakaian yang menutupi aurat, baju hangat, baju perang dan alat-alat perang. Dia Azza wa Jalla mengajari mereka menciptakan alat angkutan laut, darat dan udara, dan menciptakan segala sesuatu yang mereka dapat manfaatkan. Allah Azza wa Jalla menurunkan besi yang berkekuatan besar dan sangat bermanfaat bagi seluruh umat. Akan tetapi, kebanyakan orang lalai bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla . Sebaliknya, justru bersikap menentang dan congkak kepada Allah Azza wa Jalla serta besar kepala di hadapan sesama saat memiliki semua ini”[2] .
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ
Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat).
Di saat menempuh perjalanan, dengan doa ini, orang juga diingatkan kepada perjalanan ke akhirat. Sebagaimana telah mengawali penciptaan makhluk, Allah Azza wa Jalla akan mengembalikan mereka dalam rangka memeri balasan. Allah Azza wa Jalla befirman:
لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى
supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). [an-Najm/53:31]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kebaikan dan ketakwaan dalam perjalanan ini, kami mohon perbuatan yang engkau ridhai.
Dalam doa ini, orang memohon kepada Allah Azza wa Jalla agar perjalanan yang sedang dijalani merupakan perjalanan yang baik, memuat amal-amal kebaikan yang berkaitan dengan hak Allah Azza wa Jalla serta hak-hak sesama. Pertama, dia memohon kebaikan, kemudian memohon ketakwaan yang membentengi kemurkaan-Nya dengan cara meninggalkan segala yang dibenci Allah Azza wa Jalla , baik berupa perkataan, perbuatan, lahir dan batin. Sebagaimana ia juga memohon segala hal yang mendatangkan keridhaan-Nya.
Ini artinya mencakup seluruh amal ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla . Apabila sebuah safar dipenuhi dengan nilai-nilai luhur di atas, maka safar tersebut menjadi safar yang menguntungkan dan diberkahi. Dahulu, seluruh perjalanan jauh yang ditempuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam penuh dengan nilai-nilai itu.
Selanjutnya, permohonan kemudahan dari kesulitan-kesulitan dan beratnya perjalanan, dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ
Ya Allah, permudahlah perjalanan kami dan perpendeklah jaraknya bagi kami.
Ini karena safar merupakan satu bentuk siksaan (penderitaan) tersendiri, di mana seseorang merasakan kepayahan, panas, tidak nyaman, dan jauh dari orang-orang yang dicintai. Sehingga musafir membutuhkan agar beban perjalanan menjadi ringan dan jarak tempuh terasa dekat. Yakni, dengan meringankan beban pikiran dan masalah, serta datangnya barakah dalam perjalanan. Perjalanan yang (sangat) jauh pun tak terasa menjemukan dan muncul hal-hal yang membuat perjalanan menjadi menyenangkan, semisal hati tetap tenang, keberadaan teman perjalanan yang baik, perjalanan aman dan lancar, tanpa aral melintang. Itu terjadi karena kemudahan dan anugerah dari-Nya.
Berapa banyak orang mengalami perjalanan yang tidak lancar, lalu-lintas macet, mobil mogok, harus melewati dan menghadapi gangguan keamanan maupun mengalami kecelakaan (nas`alullâhas salâmah wal ‘âfiyah). Sehingga jarak tempuh yang dekat pun dirasa amat jauh dan memakan waktu tempuh yang lama.
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ
Ya Allah, Engkaulah pendampingku dalam perjalanan.
Yang dimaksud pendampingan di sini ialah kebersamaan yang mendatangkan perlindungan, pertolongan dan bantuan kemudahan. Barang siapa bersama Allah Azza wa Jalla , maka apakah ada yang ia takuti?
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ
dan yang mengurusi keluarga(ku).
Artinya, aku bergantung diri kepada-Mu semata dalam menjaga keluargaku.
Untuk lebih menekankan permohonan kemudahan dan ringannya beban dalam perjalanan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kepayahan dalam perjalanan, pemandangan yang menyedihkan dan keadaan kepulangan yang buruk dalam harta dan keluarga.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari kesulitan perjalanan, kesedihan dan beban pikiran yang selalu menggelayuti musafir, serta menyampaikan permohonan perlindungan juga terhadap seluruh yang ditinggalkan saat safar, baik kekayaan, keluarga atau anak-anak.
DOA DALAM PERJALANAN PULANG
Apabila mulai perjalanan pulang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa di atas dengan menambahkan kalimat berikut:
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
Kami kembali dengan selamat, bertaubat kepada Allah dari dosa, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami.
Maksudnya, kami memohon kepada-Mu ya Allah Azza wa Jalla menjadikan kami dalam perjalanan pulang ini agar selalu bertaubat kepada-Mu. Beribadah dan memuji-Mu serta mengakhiri perjalanan kami dengan amal ketaatan. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Dan katakanlah: “Ya Rabb-ku, masukkanlah aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku dari tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong. [al-Isrâ/17:80]
Pengertian tempat masuk dan keluar yang benar, bahwa perjalanan-perjalanan yang ditempuh seseorang itu berisi kejujuran dan kebenaran, serta kesibukan dengan hal-hal yang dicintai Allah Azza wa Jalla , disertai sikap berserah diri total (tawakkal) kepada Allah Azza wa Jalla .
Kewajiban seorang Muslim adalah memuji Allah Azza wa Jalla atas taufik-Nya dalam menjalankan ibadah dan keinginan akan melakukan keperluan lainnya. Sebab, hanya dengan taufik-Nya, maka ibadah dan semua urusan serta keperluan itu bisa selesai.
PERJALANAN PENUH MAKSIAT
Gambaran di atas bertolak-belakang dengan apa yang dikerjakan oleh sebagian kaum Muslimin di tengah perjalanan. Perjalanan mereka tidak lepas dari kemaksiatan kepada Allah Azza wa Jalla . Padahal, mereka sedang dalam kondisi ‘mempertaruhkan’ keselamatan dan nyawa. Bagaimana tidak demikian, kenyataannya lalu-lintas yang ramai, pengemudi kendaraan yang kadang-kadang ugal-ugalan, jalan sempit, terjal atau berkelok-kelok dengan kanan-kiri jurang menganga. Juga bagi pemakai jasa kapal laut, atau bagi yang sedang menumpang pesawat. Apalagi peristiwa kecelakaan terjadi di sana-sini, menghiasi media massa. Bila kita sekalian menghayati kondisi yang sedang menaungi kita, maka sikap yang tepat adalah kita memohon keselamatan dan kemudahaan kepada Allah Azza wa Jalla.
PENUTUP
Kelancaran dan kemudahan menempuh perjalanan, dan ketenangan hati dan jiwa tatkala raga berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, itu semua tidak lepas dari kenikmatan dan anugerah Allah Azza wa Jalla . Sebagaimana dikatakan Syaikh ‘Abdur Razzâq al-‘Abbâd. Tentunya, tidak sepantasnya orang yang sedang menumpangi alat transportasi lupa untuk mengingat dan memuji dengan layak Dzat yang telah memberikan kenikmatan dan menyediakannya [3] .
Referensi:
1. Bahjatu Qulûbil Abrâr, ‘Abdur Rahmân as-Sa’di Dâr al-Fath Cet. I Thn. 1415H
2. Fiqhul Ad’iyah wal Adzkâr, Abdur Razzâq al-‘Abbâd Cet. I Thn. 1423H
3. Adâbus Safar, Ummu ‘Abdullâh, Dârul Wathan
Sumber:
[1]. Silahkan lihat Bahjatu Qulûbil Abrâr, ‘Abdur Rahmân as-Sa’di Dâr al-Fath Cet. I Thn. 1415H, hal. 187
[2]. Bahjatu Qulûbil Abrâr hal. 188
[3]. Fiqhul Ad’iyah wal Adzkâr, Abdur Razzâq al-‘Abbâd Cet. I Thn. 1423H, (3/263).
Post a Comment