Dia adalah qari‘ yang berusia enam tahun. Amru bin Salamah pernah menjadi imam shalat karena ia memiliki banyak hafalan Al-Qur’an.



Para sahabat telah mengakui hak anak kecil tersebut, Amru bin Salamah berkata, ”(ketika terjadi penaklukan penduduk kota Makkah), ayah dan kaumku segera masuk Islam. Ketika ayahku datang, ia berkata, “Demi Allah aku membawa kalian sebuah kebenaran dari sisi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata, “Lakukanlah shalat ini, pada waktu ini, dan shalat itu, pada waktu itu. Apabila datang waktu shalat, seorang dari kalian hendaklah salah seorang dari kalian beradzan dan yang mengimami shalat kalian adalah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya. Mereka saling memandang dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak hafalannya daripada aku, karena aku telah mempelajarinya dari kafilah dagang. Maka mereka pun mengajukan diriku di hadapan mereka, padahal usiaku saat itu usia enam atau tujuh tahun. Pada diriku melekat kain kecil yang jika aku sujud kain itu tersingkap dari diriku. Seorang wanita dari suatu wilayah lewat dan berkata, “Mengapa kalian tidak menutupi pantat pembaca Al-Qur’an kalian?”. Akhirnya mereka membeli kain dan memotongkan untukku satu baju. Aku tidak pernah gembira oleh sesuatu segembira saat mendapatkan baju itu” (HR. Shahih Al Bukhori: V/1564).

Islam sangat memperhatikan dan memuliakan anak kecil karena keistimewaan atau kelebihannya dalam membaca dan memiliki hafalan Al-Qur’an yang lebih banyak dibandingkan dengan orang lain.
Selain diajarkan Al-Qur’an orang tua atau pendidik membimbingnya untuk memahami gerakan atau bacaan shalat. Serta perkara-perkara yang berkaitan dengan thaharah agar shalatnya sah. Terlebih lagi ketika jadi imam shalat, meskipun masih kecil ia perlu dipahamkan rukun, syarat dan berbagai perkara yang berhubungan dengan ibadah shalat.

Dan kisah Amru bin Salamah di atas, hendaklah memotivasi orang tua atau pendidik untuk lebih mendekatkan anak agar berinteraksi dengan Al-Qur’an. Menghafal Kitabullah di usia dini lebih terpatri dalam ingatan dan lebih kokoh hafalannya karena fitrahnya masih polos dan belum banyak permasalahan yang dihadapinya.

Ketika seorang anak memiliki respon positif, semangat dan kemauan keras untuk menghafal Kitabullah maka anda perlu membimbingnya secara maksimal sesuai dengan kapasitas kemampuannya dan kecerdasan akalnya.

Jadikan anak mencintai Al-Qur’an dan bimbinglah dia meraih kemuliaan hidup bersama Al-Qur’an dengan mengajarkan membacanya, memahamkan maknanya, serta menjadikannya bahagia dengan Al-Qur’an. Dengan mengajarkan Kitabullah dan menegakkan shalat sejak dini ia akan tumbuh selaras dengan fithrahnya.

Semoga kisah di atas menginspirasi orang tua dan pendidik untuk lebih intens membimbing anak membaca Al-Qur’an dan memahamkan maknanya dengan bahasa yang mudah dipahami anak. Kemampuan dan kecerdasan anak memang tidak sama, namun ketika kita memiliki niat dan cita-cita yang tinggi untuk memberikan yang terbaik untuk buah hati, kita akan dimudahkan Allah subhanahu wa ta’ala. Meskipun mereka bukan seperti Asy-Syafi’i yang hafal Al-Qur’an sejak usia tujuh tahun atau Ibnu Abbas yang saat usianya masih kecil telah hafal ayat-ayat muhkam. Dan jangan pernah lupakan berdo’a kepada Allah ‘azza wa jalla agar kita diberi kekuatan dan kemudahan dalam mendidik anak.

Akan bermunculan Amru bin Salamah ketika dipersiapkan sejak dini untuk mencintai Al-Qur’an, membacanya, menghafalkannya serta mentadabburinya. Ibnu Al-Muflih berkata, “Belajar di waktu kecil lebih melekat di benak, maka seyogyanya orang tua memberikan perhatian terhadap persoalan ini, sekalipun orang tua itu cerdas dan antusias dalam mencari ilmu, tetap saja jangan menjadikan usia dini anak, kelemahan dan keterbatasannya menjadi sebab untuk tidak menuntut ilmu” (Al-Adab Asy-syar’iyyah, I/44)

Wallahu a’lam.