يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan” (QS. Al A’raf: 32).
Dan semua yang Allah ciptakan di bumi ini adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka hukum asal masalah pakaian adalah mubah. Islam tidak membatasi jenis pakaian tertentu yang boleh dipakai, atau warna tertentu, atau model tertentu. Hukum asal semua pakaian adalah mubah, selama tidak mengandung perkara yang dilarang syariat. Allah Ta’ala berfirman
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat” (QS. Al A’raf: 32).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ
“Makanlah (makanan yang halal) dan bersedekahlah, serta pakailah pakaian (yang halal) tanpa berlebih-lebihan dan tanpa bersombong diri” (HR. An Nasa-i no.2559, dihasankan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).
Perhatikan dalil-dalil di atas, Allah dan Rasul-Nya menghalalkan pakaian secara umum. Dari sini para ulama menarik sebuah kaidah fiqih:
الأصل في العبادات الحظر، و في العادات الإباحة
“Hukum asal ibadah adalah terlarang, sedangkan hukum asal adah (muamalah) adalah boleh”.
‘Adah adalah semua perkara non-ibadah, misalnya makanan, minuman, pakaian, pekerjaan, alat-alat, dan lainnya. Semuanya halal dan boleh selama tidak diketahui ada dalil yang mengharamkannya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sadi menjelaskan: Semua perkara adah baik berupa makanan, minuman, pakaian, kegiatan-kegiatan non-ibadah, muamalah, pekerjaan, hukum asalnya mubah dan halal. Orang yang mengharam perkara ‘adah, padahal Allah dan Rasul-Nya tidak mengharamkan, ia adalah mubtadi (Qawaid Wal Ushul Al Jamiah, hal.74).
Maka perkara ‘adah, termasuk pakaian ataupun makanan, bisa berubah menjadi haram jika mengandung hal-hal yang diharamkan syariat.
Hukum Memakai Jaket Bagi Wanita
Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah ketika ditanya mengenai hukum wanita memakai jaket di luar jilbabnya, beliau menjelaskan: “Yang penting, wanita wajib menutup dirinya dengan pakaian yang sempurna ketika keluar rumah, dengan menggunakan jenis pakaian apa saja yang bisa menutup dengan sempurna. Adapun hukum jenis pakaian secara spesifik, maka ini tergantung keadaannya dan kebutuhannya. Hukum asal jenis-jenis pakaian wanita tidaklah terlarang kecuali yang menyerupai lelaki. Tidak boleh menggunakan pakaian khas lelaki. Hendaknya hanya menggunakan pakaian-pakaian khas wanita. Dalam hadits disebutkan,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhari no. 5435).
Maka tidak boleh menyerupai lawan jenis. Laki-laki punya pakaian khas laki-laki dan wanita juga punya pakaian khas wanita” (Sumber: https://www.alfawzan.af.org.sa/en/node/3648).
Demikian juga, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts wal Ifta‘ ketika ditanya hukum memakai jaket bagi wanita, maka jawaban beliau adalah sebagai berikut:
الأصل في أنواع اللباس الإباحة؛ لأنه من أمور العادات، قال تعالى: سورة الأعراف الآية 32 قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ويستثنى من ذلك ما دل الدليل الشرعي على تحريمه أو كراهته كالحرير للرجال، والذي يصف العورة؛ لكونه شفافا يرى من ورائه لون الجلد أو لكونه ضيقا يحدد العورة ، لأنه حينئذ في حكم كشفها وكشفها لا يجوز، وكالملابس التي هي من سيما الكفار الخاصة بهم، فلا يجوز لبسها لا للرجال ولا للنساء
“Hukum asal jenis-jenis pakaian itu mubah. Karena masalah pakaian adalah perkara adat (non-ibadah). Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” (QS. Al A’raf: 32). Namun dikecualikan dari itu semua, beberapa pakaian yang terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya haram atau makruh. Seperti memakai kain sutra untuk lelaki, atau memakai pakaian yang memperlihatkan aurat, baik karena transparan sehingga terlihat warna kulitnya, atau karena sempit sehingga membentuk lekukan tubuh. Karena ketika itu berarti sama dengan membuka aurat, dan membuka aurat itu tidak diperbolehkan. Demikian juga pakaian yang menjadi ciri khas orang-orang kafir, maka tidak boleh digunakan oleh lelaki dan wanita” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 24/41).
Maka dari penjelasan para ulama di atas, hukum asal jaket bagi wanita adalah mubah, namun dengan syarat tidak mengandung perkara-perkara yang dilarang syariat.
Syarat-Syarat Jaket Yang Boleh Dipakai
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa hukum asal jaket bagi wanita adalah mubah, selama tidak mengandung perkara-perkara yang dilarang syariat. Maka wanita yang ingin memakai jaket maka perlu memperhatikan syarat-syarat berikut
1. Tidak memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh
Jaket yang dipakai tidak boleh membuat wanita terlihat lekukan-lekukan tubuhnya. Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan ketika menjelaskan kriteria pakaian yang syar’i bagi wanita beliau mengatakan:
ألا بكون ضيقا يبين حجم أعضائها، ففي [صحيح مسلم] عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «صنفان من أهل النار لم أرهما: قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس، ونساء كاسيات عاريات، مائلات مميلات، رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة، لا يدخلن الجنة، ولا يجدن ريحها، وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا» ، قال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله في [مجموع الفتاوى] (22:146) : وقد فسر قوله صلى الله عليه وسلم: كاسيات عاريات بأن تكتسي ما لا يسترها، فهي كاسية وهي في الحقيقة عارية، مثل من تكتسي الثوب الرقيق الذي يصف بشرتها، أو الثوب الضيق الذي يبدي تقاطيع خلقها، مثل عجيزتها وساعدها ونحو ذلك، وإنما كسوة المرأة ما يسترها، فلا يبدي جسمها، ولا حجم أعضائها؛ لكونه كثيفا واسعا
“Pakaian Muslimah tidak boleh sempit sehingga memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya. Karena dalam hadits Muslim Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Ada dua golongan penduduk neraka yang aku belum pernah melihat mereka sebelumnya: Pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, mereka menggunakannya untuk mencambuk orang-orang. Kedua, wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka berlenggak-lenggok, kepalanya seperti punuk unta. Mereka tidak masuk surga, dan tidak mencium wanginya, padahal wangi surga tercium dari jarak sekian dan sekian (HR. Muslim no. 2128).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu Al Fatawa (22/146) menjelaskan hadits ini, beliau berkata: “Para ulama menafsirkan sabda Nabi [wanita yang berpakaian tapi telanjang] maksudnya adalah wanita yang memakai pakaian yang tidak menutup aurat dengan sempurna. Karena ia berpakaian namun hakikatnya telanjang. Demikian juga wanita yang memakai pakaian tipis, yang masih memperlihatkan warna kulitnya. Atau juga yang memakai pakaian sempit, yang memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya, seperti bentuk bokongnya, bentuk lengannya atau semisalnya. Pakaian wanita yang syar’i itu adalah yang menutupinya dengan sempurna, tidak memperlihatkan tubuhnya, tidak juga memperlihatkan bentuk lekukan-lekukan tubuhnya. Ia haruslah tebal dan lebar” (sampai di sini perkataan Ibnu Taimiyah)” (Tanbihaat ala Ahkaam Takhtashu bil Muminaat, hal 39-40).
Dalam Jilbab Marah Muslimah (1/131), Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata:
الشرط الرابع: “أن يكون فضفاضًا غير ضيق فيصف شيئًا من جسمها”
لأن الغرض من الثوب إنما هو رفع الفتنة ولا يحصل ذلك إلا بالفضفاض الواسع وأما الضيق فإنه وإن ستر لون البشرة فإنه يصف حجم جسمها أو بعضه ويصوره في أعين الرجال وفي ذلك من الفساد والدعوة إليه ما لا يخفى فوجب أن يكون واسعًا وقد قال أسامة بن زيد:
“كساني رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قبطية كثيفة مما أهداها له دحية الكلبي فكسوتها امرأتي فقال: ما لك لم تلبس القبطية؟ قلت: كسوتها امرأتي فقال: “مرها فلتجعل تحتها غلالة، فإني أخاف أن تصف حجم عظامها
“Syarat keempat: pakaian muslimah itu hendaknya longgar dan tidak ketat sehingga menggambarkan bagian tubuhnya. Karena tujuan memakai pakaian adalah mencegah terjadinya fitnah (hal-hal yang buruk pent). Tujuan tersebut tidak akan tercapai kecuali jika pakaiannya longgar dan lebar. Sedangkan jika ketat, walaupun menutup warna kulit, itu dapat menggambarkan bentuk seluruh atau sebagian tubuhnya, sehingga bentuk tubuhnya tersebut tergambar di mata para lelaki. Ini adalah salah satu bentuk kerusakan dan seolah mengundang orang-orang untuk melihat bentuk tubuhnya yang tidak ia tutupi dengan benar itu. Oleh karena itu, pakaian wanita itu wajib longgar. Usamah bin Zaid pernah berkata:
كساني رسول الله – صلى الله عليه وسلم – قبطية كثيفة كانت مما أهدى له دِحْيَةُ الكلبي فكسوتها امرأتي، فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : مالك لا تلبس القبطية؟ فقلت: يا رسول الله! كسوتها امرأتي، فقال: مرها أن تجعل تحتها غلالة فإني أخاف أن تصف حجم عظامها
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan oleh Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menanyakanku: Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?. Kujawab: Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah. Beliau berkata: Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya (HR. Dhiya Al Maqdisi dalam Al Mukhtar 1/441, dihasankan oleh Al Albani). [selesai kutipan].
Maka tidak boleh wanita memakai jaket yang bisa memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya di luar rumah, seperti lekukan badannya, lekukan lengannya, lekukan pinggulnya, lekukan dadanya, dan semisalnya. Jika ingin memakai jaket hendaknya gunakan jaket yang sangat lebar dan tebal sehingga tidak memperlihatkan lekukan-lekukan tubuhnya. Atau gunakan jaket di dalam jilbab, sehingga tujuan memakai jaket tercapai (yaitu untuk kehangatan) namun juga tidak memperlihatkan lekukan-lekukan tubuh.
2. Tidak menyerupai pakaian lelaki
Jaket yang dipakai tidak boleh yang menyerupai jaket yang khas bagi lelaki, namun hendaknya jaket yang khas untuk wanita. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai laki-laki” (HR. Bukhari no. 5435).
Dalam riwayat lain di Shahih Al Bukhari juga:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang kebanci-bancian dan para wanita yang kelaki-lakian Dan Nabi juga bersabda: keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian! (HR. Bukhari no. 5436).
Sebagaimana juga dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di atas.
3. Memenuhi kriteria umum pakaian syar’i bagi Muslimah
Dua kriteria di atas yang sering disebutkan para ulama ketika membahas hukum jaket. Namun juga tentunya jaket bagi wanita sebagaimana pakaian-pakaian yang lain, hendaknya memenuhi kriteria-kriteria pakaian syar’i secara umum. Kriteria busana Muslimah yang syar’i adalah sebagai berikut:
1- استيعاب جميع البدن إلا ما استثني. -2- أن لا يكون زينة في نفسه. 3- أن يكون صفيقاً لا يشف. 4- أن يكون فضفاضاً غيرضيق فيصف شيئاً من جسمه. 5- أن لا يكون مبخراً مطيباً. 6- أن لا يشبه لباس الرجل. 7- أن لا يشبه لباس الكافرات. 8- أن لا يكون لباس شهرة
“(1) Menutupi seluruh tubuh kecuali yang tidak wajib ditutupi (2) Tidak berfungsi sebagai perhiasan (3) Kainnya tebal tidak tipis (4) Lebar tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh (5) Tidak diberi pewangi atau parfum (6) Tidak menyerupai pakaian lelaki (7) Tidak menyerupai pakaian wanita kafir (8) Bukan merupakan libas syuhrah (pakaian yang menarik perhatian orang-orang) (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Lil Imam Al Albani, 394).
Demikian pemaparan singkat ini, semoga bermafaat. Semoga kaum Muslimah diberi hidayah oleh Allah untuk terus istiqamah menggunakan hijab yang syar’i yang diridhai oleh Allah Ta’ala.
Wabillahi at taufiq was sadaad.
Post a Comment