Air susu ibu (ASI) merupakan nutrisi terbaik bagi bayi yang tidak bisa digantikan oleh bahan apa pun. Memberikan ASI memiliki manfaat yang sangat luar biasa bagi bayi, terutama yang langsung terkait dengan proses tumbuh kembangnya. ASI juga bermanfaat untuk meningkatkan hubungan psikologis yang erat antara ibu dan bayi.




Ketika Seorang Wanita Tidak Mau Menyusui sang Anak

Dalam hukum syariat, menyusui merupakan kewajiban bagi seorang wanita (ibu). Terdapat ancaman yang sangat keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi para ibu yang tidak mau menyusui anaknya tanpa ada udzur (penghalang) yang dibenarkan oleh syariat. Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِنِسَاءٍ تَنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَّاتُ, قُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ قِيلَ: هَؤُلَاءِ اللَّاتِي يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

“Kemudian malaikat mengajakku melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba aku melihat wanita yang payudaranya dicabik-cabik ular. Aku bertanya, “Ada apa dengan mereka?” Malaikat menjawab, “Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan yang dibenarkan, pen.).” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban no. 7491, hadits shahih)

Ancaman dalam hadits ini berlaku jika tidak terdapat udzur (alasan) yang dibenarkan secara syariat atau secara medis ketika seorang wanita tersebut tidak mau menyusui anaknya. Sebagai akibatnya, hal itu menimbulkan bahaya (mudharat) bagi sang anak.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala berkata,

ففي هذا الحديث : زجر الأمهات عن منع أطفالهن من الرضاعة الطبيعية ؛ ولكن يحمل الحديث على الحالة التي يتضرر فيها الطفل بذلك .أما إذا لم يتضرر الوليد بذلك ، إما بوجود مرضع له ، أو اكتفائه بالحليب الصناعي دون أن يتضرر به : فلا حرج في ذلك ، وكان عمل العرب قديما قبل الإسلام إرضاع الأطفال عند المرضعات ، ولا تقوم به الأم في الغالب ، واستمر العمل على هذا في صدر الإسلام ولم ينه عنه النبي صلى الله عليه وسلم ، وذلك يدل على جوازه .

“Di dalam hadits ini terdapat peringatan keras kepada para ibu yang menolak untuk menyusui anaknya secara alami. Akan tetapi, ancaman dalam hadits ini berlaku jika hal itu menimbulkan bahaya (mudharat) bagi sang bayi. Sehingga jika kondisi tersebut tidak membahayakan sang bayi, misalnya karena adanya ibu susu, atau mencukupkan diri dengan susu buatan (susu formula) yang tidak membahayakan bayi, maka hal itu (tidak menyusui bayi) adalah tidak mengapa.

Dahulu kala, praktik (budaya) Arab sebelum masa Islam adalah menyusukan bayi kepada ibu susu (tidak disusui oleh ibu kandungnya sendiri, pen.). Mayoritas ibu tidak menyusui sendiri anaknya. Praktik semacam ini berlanjut di masa setelah datangnya Islam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarangnya. Sehingga hal ini menunjukkan bolehnya hal tersebut.” [1]

Terdapat pertanyaan yang ditujukan kepada Lajnah Daa’imah,

“Sebagian wanita tidak menyusui anak mereka karena ingin menjaga kesehatannya. Sebagian yang lain tidak menyempurnakan periode penyusuan (sampai usia dua tahun, pen.). Apakah mereka berdosa?”

Ulama Lajnah Ad-Daa’imah yang ketika itu masih dipimpin oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala menjawab,

الواجب على المرأة أن تحافظ على إرضاع أولادها وأسباب صحتهم ، وليس لها الاكتفاء بالحليب المستورد أو غيره إلا برضى زوجها بعد التشاور في ذلك, وعدم وجود ضرر على الأولاد .

“Menjadi kewajiban bagi seorang wanita (ibu) untuk menjaga proses penyusuan terhadap anak-anaknya dan juga menjaga sebab-sebab kesehatan mereka. Tidak boleh baginya mencukupkan diri dengan susu formula (susu buatan) atau yang lainnya, kecuali dengan ridha suaminya setelah saling bermusyawarah dan juga tidak adanya bahaya (mudharat) bagi sang bayi.” [2]

Oleh karena itu, seorang wanita boleh beralih ke susu formula dengan dua syarat: (1) atas ridha sang suami; dan (2) tidak menimbulkan mudharat (bahaya) bagi sang bayi. Ini pula yang difatwakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Munajjid hafidzahullahu Ta’ala. [1]

Jika terdapat Kontraindikasi Menyusui

Demikian juga, jika terdapat penghalang (kontraindikasi) untuk menyusui, baik karena faktor tertentu yang berasal dari sang ibu atau dari sang anak, maka tidak mengapa jika sang ibu tidak menyusui anaknya. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى

“Jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)

Terdapat beberapa kondisi ketika seorang ibu justru tidak boleh menyusui anaknya secara langsung, baik kondisi tersebut bersifat sementara atau bersifat permanen. Misalnya, sang ibu sedang menjalani perawatan sehingga harus rutin meminum obat-obatan tertentu (semacam obat-obat kemoterapi); seorang ibu yang dalam kondisi sakit infeksi berat (sepsis); atau payudara ibu mengalami infeksi aktif oleh virus tertentu; kelainan (penyakit) tertentu pada bayi; dan kondisi-kondisi lainnya yang menurut para dokter ahli di bidang ini merupakan kontraindikasi pemberian ASI. [3]

Dalam kondisi-kondisi tersebut, bisa jadi menyusui itu tidak boleh dilakukan jika nyata-nyata akan menimbulkan bahaya bagi sang bayi, berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 2340 dan lain-lain)

Kesimpulan

Tidak diragukan lagi bahwa ASI adalah nutrisi terbaik bagi sang bayi, sehingga para ahli kesehatan pun menganjurkan pemberian ASI eksklusif sampai usia enam bulan, dan kemudian dilanjutkan bersama-sama dengan pemberian makanan pendamping ASI sampai usia dua tahun atau bahkan lebih [4]. Syariat pun menetapkan bahwa seorang ibu hendaknya menyusui anaknya, dan tidak boleh beralih ke susu buatan (susu formula) jika hal itu bisa menimbulkan bahaya bagi sang bayi dan juga tanpa ridha sang suami.