“Dunia telah memanggil-manggil Dzul Bijadain. Namun ia telah menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Ia malah mengejar akhirat yang ia cari lewat setiap jalan.”

Di sebelah kanan pengelana yang berasal dari Madinah hendak menuju Mekkah Al Mukarramah ada sebuah gunung hijau yang sejuk dan enak dipandang mata. Gunung tersebut dikenal dengan Warqan. Yang menempati gunung ini adalah sebuah kabilah yang dikenal dengan Muzainah.


   
Di salah satu lereng gunung tersebut yang terletak dekat dengan Yatsrib telah lahir seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abd Naham Al Muzani dari kedua orang tua yang miskin. Kelahiran bocah ini sesaat sebelum terbitnya cahaya kebenaran dari Mekkah Al Mukarramah.

Akan tetapi kehendak Allah Swt telah menetapkan bahwa ayah bocah ini meninggal dunia, padahal bocah tersebut belum juga dapat berjalan. Maka selain menjadi bocah fakir, ia pun kini menjadi anak yatim. Akan tetapi bocah yatim dan fakir ini memiliki seorang paman yang begitu kaya dan memiliki keluasan dalam harta. Paman tadi belum juga mempunyai anak yang menghiasi hidupnya, atau yang dapat mewarisi hartanya. Maka ia begitu senang dengan keponakannya ini. Dan ia menjadikan diri dan hartanya seperti milik bocah tadi, seolah dia adalah anaknya sendiri.
   
Tumbuhlah bocah Al Muzany tadi di pangkuan haribaan gunung Warqan yang lebat dengan bunga. Maka gunung yang segar tersebut memberikan pakaian kesantunan dan kelembutan kepada pemuda ini. Gunung Warqan juga memberikan kejernihannya kepada pemuda ini. Maka tumbuhlah pemuda ini dengan perasaan yang halus, jiwa yang bersih dan fitrah yang suci. Dan ini merupakan salah satu sebab lain yang membuat pamannya semakin cinta kepadanya.
   
Meskipun pemuda Al Muzany ini sudah tumbuh dewasa sebagaimana para pria dewasa. Akan tetapi dia belum pernah mendengar kabar tentang agama yang baru, dan ia tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang pembawa agama ini yaitu Muhammad bin Abdullah Saw. Hal itu terus berlangsung sehingga kota Yatsrib merayakan hari bergembiranya dengan kedatangan Rasulullah Saw ke sana sebagai seorang yang berhijrah.

Maka mulailah pemuda Al Mazini ini mengikuti informasi tentang diri Rasulullah Saw dan ia terus memantaunya. Sehingga sering kali ia berdiam diri sepanjang hari di tengah jalan yang menuju Madinah agar ia dapat bertanya kepada orang yang menuju kesana atau kepada orang yang baru saja dari sana tentang agama baru dan para pengikutnya. Iapun sering menanyakan tentang Nabi Saw dan informasi tentang dirinya, sehingga Allah Swt berkenan melapangkan dadanya yang suci untuk menerima Islam dan membuka hatinya untuk menyerap cahaya iman. Maka bersaksilah pemuda ini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Hal itu terjadi, sebelum matanya melihat langsung dengan Rasulullah Saw atau telinganya mendegarkan sabda-sabda Beliau. Maka dia menjadi orang pertama yang masuk Islam dari kaumnya yang berada di gunung Warqan.
   
Pemuda Al Muzani ini menyembunyikan keislamannya dari kaumnya secara umum dan secara khusus dari pamannya. Ia sering pergike sebuah lereng yang jauh untuk beribadah kepada Allah Swt di sebuah sudutnya yang jauh dari pandangan manusia.

Ia amat menantikan dengan sangat hari dimana pamannya akan masuk Islam dan agar ia dapat mengumumkan keislamannya… serta agar ia beserta pamannya dapat menjumpai Rasulullah Saw, setelah sekian lama ia ingin sekali berjumpa dengan Rasul yang menimbulkan rasa rindu dan memenuhi seluruh relung hati dan sanubarinya.
   
Ketika pemuda ini mendapati bahwa kesabarannya telah berlangsung cukup lama, dan pamannya semakin jauh dari Islam. Dan sudah banyak sekali peperangan yang dilakukan Rasulullah Saw yang telah meninggalkannya satu demi satu. Maka ia mengambil keputusan –tanpa berpikir apa yang bakal terjadi pada dirinya- dan ia menghadap pamannya seraya berkata: “Paman, Aku sudah lama sekali menunggumu agar engkau masuk Islam sehingga habis kesabaranku. Jika engkau berkenan masuk ke dalam Islam dan sehingga Allah menetapkan kebahagian bagimu maka itu amat baik jika engkau lakukan. Jika engkau tidak berkenan, maka izinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia.
   
Begitu ucapan pemuda ini mampir di telinga pamannya, maka sang paman langsung emosi dan berkata: “Aku bersumpah demi Lata dan Uzza, jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang ada di tanganmu yang pernah aku berikan. Dan aku akan membiarkanmu hidup miskin. Dan aku tidak akan perduli bila kau membutuhkan atau kelaparan!” Ancaman ini tidak membuat pemuda yang beriman ini menjadi gentar. Dan ia tidak ragu dengan tekad yang sudah ditanamkan.

Maka pamannya meminta bantuan kepada kaumnya untuk menghadapi dirinya. Maka mereka langsung memberikan ancaman dan rayuan kepadanya. Dan ia pun berkata kepada mereka: “Lakukanlah segala yang kalian inginkan, dan aku akan tetap menjadi pengikut Muhammad, meninggalkan penyembahan batu dan berpaling ke arah penyembahan kepada Allah Yang Esa dan Maha Perkasa! Terserah kepada kalian sendiri”

Maka serta-merta pamannya mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadanya. Ia juga tidak memberikan pertolongannya dan mengharamkan dirinya untuk berbuat baik kepada pemuda ini lagi. Dan ia tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi auratnya saja.
   
Berangkatlah pemuda Al Muzani ini untuk berhijrah demi menyelamatkan agamanya menuju Allah dan Rasul-Nya. Ia pergi meninggalkan kampung tempat ia dilahirkan dan ia bermain-main sewaktu kecil. Ia berpaling dari kekayaan dan kenikmatan yang dimiliki oleh pamannya, dan ia berharap akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah Swt.

Ia menyusuri langkah menuju Madinah dengan didorong oleh kerinduan yang sudah mencabik-cabik hatinya.  Begitu ia hampir tiba di  Yatsrib maka ia merobek bajunya sehingga menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya lagi ia jadikan pakaian.

Kemudian ia menuju masjid Rasulullah Saw dan menginap di sana pada malam itu. Begitu fajar sudah menjelang, ia berdiri dekat dari pintu kamar Nabi Saw. Ia mengawasi –dengan kerinduan dan kecintaan- munculnya Nabi Saw dari kamar Beliau.
 
Begitu pandangannya melihat ke arah Nabi Saw, maka melelehlah air mata kebahagiaan dan ia merasa seolah hatinya hendak meloncat dari dadanya untuk memberikan tahiyat dan salam kepada Beliau.
   
Begitu shalat telah selesai dikerjakan, Nabi Saw –sebagaimana biasa- memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir dan akhirnya Beliau melihat pemuda Al Muzani ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Allah)!” Kemudia Rasul mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!” Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama Abdullah.

Dan para sahabat Rasul Saw memberinya gelar dengan Dzul Bijadain setelah mereka melihat bijadaih dan mereka tidak mau menceritakannya. Maka Bijadaih ini lebih terkenal dalam sejarah dari pada gelar yang diberikan kepadanya.
   
Janganlah Anda menanyakan –wahai pembaca yang budiman-tentang kebahagiaan Dzul Bijadain saat ia menjadi orang yang tinggal di bawah asuhan Rasulullah dan senantiasa mengikuti seluruh majlis Beliau. Ia turut serta shalat dibelakang Beliau. Menyerap dari seluruh petunjuk Beliau. Dan puas dengan akhlak Beliau yang begitu mulia.
   
Dunia dulu pernah memanggil-manggilnya, namun ia telah menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Dia malah menuju akhirat yang ia cari lewat jalan apa saja:

Ia mencari akhirat dengan do’a yang selalu ia panjatkan dengan rasa takut dan khusyuk. Sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al Awwah (Orang yang sering merintih saat do’a karena takut kepada Allah). Ia mencari akhirat dengan Al Qur’an. Sehingga ia tidak pernah berhenti menebarkan aroma semerbak ayat-ayat Al Qur’an di seluruh penjuru masjid Rasulullah Saw. Ia juga mencari akhirat dengan cara berjihad. Dan ia tidak pernah terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
   
Dalam perang Tabuk, Dzul Bijadain meminta Rasulullah Saw agar berdo’a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun Rasul Saw mendo’akan agar darah Dzul Bijadain terjaga dari pedang pasukan kafin.

Maka ia berkata kepada Rasul: “Demi ibu dan bapakku, ya Rasulullah. Bukan ini yang aku inginkan.” Maka bersabdalah Rasulullah Saw: “Jika engkau berangkat berjuang di jalan Allah, kemudian engkau sakit dan mati, maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sehingga engkau mati, maka engkau pun syahid karenanya.”
   
Tidak berselang satu hari dan satu malam sejak pembicaraan ini sehingga pemuda Al Muzani tadi terserang penyakit demam yang menyebabkan ia tewas.

Sunguh ia meninggal dalam kondisi berhijrah karena Allah. Berjihad di jalannya. Jauh dari keluarga dan kerabat. Terasing dari kampung halaman.  Dan Allah akan membalas semua itu dengan kebaikan yang terbaik. Para sahabat yang mulya telah mengantarkan jasadnya ke kubur dengan kaki-kaki mereka yang suci.

Rasul pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan Beliau yang mulya. Yang membawa jasadnya dari luar dan mengantarkannya kepada Rasul yang menunggu di bawah kubur adalah Abu Bakar dan Umar, sehingga Rasul berkata kepada keduanya: “Dekatkan kepadaku saudara kalian ini!” Maka keduanya melepaskan tubuh Al Muzani ini hingga sampai ke tangan Rasul Saw.

Dan Abdullah bin Mas’ud berdiri memperhatikan pemandangan semua ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini. Demi Allah, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15 tahun lebih dulu darinya.”