Suatu malam Khalifah Umar bin Khathab berjaga-jaga di Kota Madinah. Ia ingin memastikan agar penduduk dapat tidur nyenyak dan tenang. Hal itu nyaris ia lakukan setiap malam.

Ketika ia tengah melakukan ronda di antara rumah-rumah dan pasar, muncul dalam benaknya seorang sahabat Rasulullah yang gagah berani.



Saat itu sang Khalifah memang tengah mencari seorang sosok yang bisa ia jadikan panglima perang untuk nenalukkan kawasan Ahwaz, sebelah barat Iran.

Keesokan harinya, setelah memimpin kaum Muslimin melaksanakan shalat Subuh, Umar memanggil sahabat yang muncul dalam benaknya tadi malam. Dialah Salamah bin Qais Al-Asyja’i.

Kepada Salamah, Umar berkata, “Engkau akan kuangkat menjadi panglima pasukan yang akan kukirim ke Ahwaz. Pergilah ke medan juang untuk memerangi mereka yang kafir kepada Allah. Bila engkau bertemu kaum musyrikin, ajaklah mereka masuk Islam!”

“Jika mereka menerima, berilah mereka dua pilihan; tinggal di kampung mereka masing- mising, atau ikut denganmu memerangi orang-orang kafir. Jika mereka memilih tinggal di kampung, mereka wajib membayar zakat dan tidak berhak menerima harta rampasan perang. Jika mereka memilih ikut bersamamu, mereka mempunyai hak dan kewajiban seperti tentaramu yang lain.”

“Jika mereka enggan masuk Islam, wajibkan kepada mereka pajak. Biarkan mereka menganut kepercayaan masing-masing dan lindungi mereka dari dari musuh-musuhmu. Janganlah sekali-kali membebani mereka dengan apa yang tidak sanggup mereka kerjakan.”

“Jika mereka menolak pilihan-pilihan itu, baru engkau perangi mereka. Jika mereka bertahan dalam sebuah benteng, kemudian mereka minta damai dan perlindungan Allah dan Rasul-Nya, jangan diterima tuntutan mereka. Karena kamu tidak tahu perlindungan Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika mereka minta perlindungan kamu, berikanlah perlindungan.”

“Saya siap dan sanggup, wahai Amirul mukminin!” jawab Salamah.

Khalifah Umar memberi semangat untuk meneguhkan hati Salamah. Ia mendoakan kemenangan dan memohon kepada Allah dengan segala kerendahan hati.

Salamah dan pasukannya benar-benar memikul beban yang tidak ringan. Karena Ahwaz adalah daerah pegunungan yang sangat sulit ditempuh. Penduduknya mempunyai kubu-kubu pertahanan kokoh yang tidak mudah ditembus. Letaknya sangat strategis, antara Basrah dan perkemahan bangsa-bangsa yang mempunyai watak lebih keras dari bangsa Kurdi.

Dengan tekad bulat Salamah dan pasukannya meninggalkan Kota Madinah. Belum begitu jauh mereka memasuki kawasan Ahwaz, mereka sudah berhadapan dengan tantangan berat, bergelut dengan sengit melawan alam yang kasar dan ganas.

Dengan segala penderitaan dan kepayahan, mereka berhasil menaklukkan pegunungan yang tinggi dan jurang yang terjal serta membunuh ular-ular berbisa, kalajengking beracun dan berbagai macam binatang buas lainnya.

Setelah perjalanan panjang tersebut, akhirnya mereka tiba di daerah Ahwaz. Sebagaimana pesan sang Khalifah, Salamah menyeru penduduk Ahwaz untuk memeluk Islam.

Namun mereka menolak. Ketika diminta untuk membayar pajak, mereka pun menolak bahkan menyombongkan diri. Akhirnya, kedua belah pihak pun mulai berperang dan kemenangan berada pada pasukan Islam.

Sesudah perang, Salamah bin Qais segera membagi bagikan harta rampasan kepada para prajuritnya. Di antara harta rampasan itu terdapat sebuah perhiasan yang sangat indah. Sang panglima berniat mempersembahkan barang tersebut ke hadapan AmiruI Mukminin, Umar bin Khathab.

Para prajuritnya pun setuju. Mereka merasa bangga bisa memberikan persembahan sebagai oleh-oleh kemenangan kepada pimpinan mereka.

Perhiasan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kotak kecik Kemudian Salamah memerintahkan kepada dua orang utusan untuk berangkat ke Madinah. Selain menyampaikan berita kemenangan, juga mempersembahkan hadiah yang mereka bawa.

Setelah pergi ke Kota Basrah untuk membeli perbekalan, dua utusan itu berangkat ke Kota Madinah. Ketika tiba di Madinah, keduanya mendapatkan Amirul Mukminin sedang membagi-bagikan makanan kepada fakir miskin.

Dengan tongkat di tangan layaknya seorang penggembala yang sedang berada di tengah gembalaannya, Umar bin Khathab memeriksa piring masing-masing kaum Muslimin. Jika ia mendapatkan makanan mereka kurang, ia segera berteriak kepada pelayannya, Yarfa’. “Hai Yarfa’, tambahkan daging untuk mereka ini!”

Begitu melihat dua utusan Salamah, Umar meminta mereka duduk dan menyuruh pelayannya menyediakan makanan. Selesai makan, Umar mengajak kedua tamunya untuk masuk ke rumahnya. Dari balik tabir ia meminta Ummu Kultsum menghidangkan makanan.

Ternyata ketika berada luar rumah tadi, sang Khalifah belum sempat mencicipi makanan. Ia tidak segera menyantap hidangan di hadapannya, sebelum kedua tamunya mencicipi.

Setelah menikmati sajian, Umar berkata,” Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita makan hingga kenyang, dan memberi kita hingga puas. Tamu dari manakah Anda berdua ini?”  tanyanya.

“Kami adalah utusan Salamah bin Qais,” jawab salah seorang mereka.

“Hah, marhaban bagi kalian berdua. Lekas ceritakan bagaimana keadaan tentara kaum Muslimin,” jawab Umar bersemangat.

“Seperti yang kita harapkan semua, Alhamdulillah tentara kaum Muslimin selamat. Mereka berhasil memenangkan pertempuran.” Kemudian utusan itu menceritakan jalannya peperangan dan keadaan sang panglima serta tentara Islam lainnya.

“Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan karunia-Nya,” ujar Amirul Mukminin. Apakah engkau melewati Kota Basrah?”

“Ya,” jawab utusan Salamah tersebut.

Kemudian Umar menanyakan tentang keadaan masyarakat kota itu dan harga barang serta berbagai hal lain yang berkenaan dengan kebutuhan penduduk. Sang Khalifah tampak lega ketika mengetahui keadaan kaum Muslimin baik dan kebutuhan mereka tercukupi.

Sang utusan segera mengeluarkan sebuah kotak lalu menyerahkannya kepada Umar. “Begitu Allah menganugerahkan kepada kami kemenangan, seluruh harta rampasan perang kami kumpulkan. Di antara harta tersebut, kami temukan sebuah perhiasan indah.”

“Salamah bin Qais menyuruh saya mengantarkannya kepada Amirul Mukminin. Karena jika dibagi-bagikan kepada para prajurit, tidak akan mencukupi. Sudilah kiranya anda menerimanya,” ujar sang utusan.

Begitu kotak tersebut dibuka, terlihatlah sebuah perhiasan indah, terdiri dari emas yang kuning menyala. Melihat benda itu, spontan sang Khalifah bangkit sambil membanting kotak dan bertolak pinggang. Wajahnya merah menunjukkan kemarahan.

“Kalian ingin menjerumuskan aku ke neraka dengan benda ini. Segera kumpulkan dan bawa kembali untuk dibagikan kepada para prajurit! Ingat, kalau para prajurit bubar sebelum engkau dan Salamah bin Qais membagikannya, aku akan menghukum kalian,” tegas Umar.

Saat itu juga, sang utusan segera meninggalkan tempat itu dan menemui pimpinannya, Salamah bin Qais. Setelah mendengar penuturan sang utusan, Salamah segera membagi-bagikan perhiasan tersebut kepada pasukannya.